Padahal menurut dia program lelang yang digagas Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo itu efektif untuk mempersempit gerak para calo jabatan. Menurut Retno, tak bisa dipungkiri bahwa selama ini mekanisme pemilihan kepala sekolah cenderung berbau korupsi, kolusi dan nepotisme. Marak kasus suap menyuap dalam proses penentuan jabatan kepala sekolah.
Selain harus memiliki kedekatan dengan pejabat di Dinas Pendidikan DKI, seorang calon kepala sekolah mesti merogoh kocek puluhan hingga ratusan juta rupiah. Hal yang sama dikatakan oleh Presidium Federasi Serikat Guru Indonesia Guntur Ismail.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyaknya peminat memantik para guru berlomba menyuap dengan uang lebih banyak. Maklum antrean untuk mengisi jabatan tersebut cukup panjang. Fenomena ini kemudian yang memunculkan adanya calo jabatan agar si calon bisa lancar menduduki kursi kepala sekolah.
"Itu butuh waktu paling cepat dua tahun dengan calo. Ada yang rugi, saking kelamaan sampai enam tahun terus pensiun enggak kesampaian tuh jadi kepala sekolah,β kata Guntur kepada detikcom, di Jakarta Kamis (19/12) kemarin.
Panjangnya antrean untuk menjadi kepala sekolah juga memunculkan dua istilah di kalangan calo. βAntrian panjang pakai proses waktu dan antrean parkir. Kalau antrean parkir itu acuannya mobil. Ada mobil Xenia, dan Avanza," tambah Guntur.
Besarnya 'ongkos siluman' yang harus dikeluarkan oleh seorang calon kepala sekolah membuat mereka akan berupaya mencari cara agar modalnya balik. Salah satunya dengan 'mengakali' penggunaan anggaran sekolah.
Guntur menyebut, biasanya calon kepala sekolah yang terpilih karena menyuap, maka setelah menjabat akan merasa paling 'berhak' menggunakan anggaran sekolah.
FAM (43 tahun), yang sudah puluhan tahun menjadi guru di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta Utara mengaku, tak pernah mengatahui soal pengelolaan anggaran di tempatnya mengajar. Pengelolaan anggaran hanya diketahui oleh orang tertentu saja seperti kepala sekolah dan bendahara.
Praktik permainan anggaran sekolah di Jakarta termasuk masalah klasik, namun masalah ini terus dibiarkan. "Itu memang tidak terbukti. Tapi, faktanya seperti itu. Ya, begini kondisi pendidikan kita," kata FAM saat berbincang dengan detikcom, kemarin.
(hat/erd)