Untung Rugi Duet Megawati-Jokowi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Untung Rugi Duet Megawati-Jokowi

Kamis, 19 Des 2013 15:08 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Meski hanya sesaat dan gaungnya belum begitu terasa, wacana menduetkan pasangan Megawati Soekarnoputri dengan Joko Widodo (Jokowi) menarik dikaji. Sejak menjabat Gubernur di DKI Jakarta popularitas dan elektabilitas Jokowi sebagai calon presiden selalu berada di urutan teratas.

Nama Jokowi selalu mengalahkan popularitas sejumlah calon presiden lainnya, seperti Prabowo Subianto, Wiranto, Aburizal Bakrie bahkan Megawati selaku Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Lalu mengapa justru PDI Perjuangan menempatkan Jokowi yang popularitasnya lebih tinggi dari sang ketua umum hanya sebagai calon wakil presiden bagi Mega?

Melambungnya popularitas dan elektabilitas Jokowi sebagai kader PDI Perjuangan tentu menjadi keuntungan bagi partai berlambang moncong putih itu. Meski tak terlalu signifikan nama mantan Wali Kota Surakarta itu turut mendongkrak elektabilitas PDI Perjuangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wacana mengajukan Jokowi sebagai calon presiden pun menguat. Namun, kenyataan bahwa popularitas dan elektabilitas Jokowi melampaui Megawati memancing munculnya dua kubu di internal PDI Perjuangan.

Kubu pertama, tetap menghendaki Megawati maju sebagai calon presiden. Suara ini umumnya datang dari golongan tua sebagai kader senior. Bagi mereka PDI Perjuangan adalah Megawati. Selama Mega masih hidup maka dia lah yang pantas dan berhak diajukan sebagai calon presiden.

Kalaupun bukan Megawati, maka calon yang harus diajukan menurut kubu ini tetap harus dari trah Sukarno. Dari keluarga Mega ada Puan Maharani dan Prananda Prabowo yang santer disebut akan mewarisi tahta sang Ibunda.

Sementara kubu kedua datang dari kader-kader muda yang progresif. Mereka melihat saat ini ada peluang untuk merebut kekuasaan di pemerintahan dengan mengajukan Jokowi sebagai calon presiden. Kubu ini tak begitu mempersoalkan siapapun yang akan memimpin partai.

Mumpung tahun ini hingga menjelang pemilihan presiden pada Juli 2014 mendatang, popularitas dan elektabilitas Jokowi diperkirakan belum terkalahkan. Jika tidak sekarang kapan lagi, kalau bukan Jokowi siapa lagi?. Kurang lebih seperti itu anggapan kubu kedua di PDI Perjuangan ini.

Munculnya dua kubu ini jelas membuat dilema pengurus PDI Perjuangan. Jika dibiarkan tentu akan memunculkan konflik yang mengakibatkan terpecahnya kader, serta mengancam perolehan suara partai.

Belum lagi partai dan calon presiden lain yang ingin menghadang perolehan suara PDI Perjuangan maupun Jokowi. Para pesaing ini tentu akan menggunakan strategi memecah dukungan untuk menggerogoti perolehan suara Jokowi ataupun PDI Perjuangan. Wacana menduetkan pasangan Mega-Jokowi adalah sebuah strategi. Menjaga internal PDI Perjuangan agar tidak terbelah, dan menghalangi langkah partai lain mengklaim atau menunggangi nama Jokowi.

Namun, menghembuskan duet Megawati-Jokowi bukanlah tanpa risiko. Tak bisa dipungkiri bahwa sejumlah survei menempatkan Jokowi sebagai capres dengan popularitas dan elektabilitas tertinggi. Masyarakat tak menghendaki pria kurus itu hanya dipasang sebagai calon wakil presiden.

Artinya jika dipaksakan mengusung duet Megawati-Jokowi maka akan mempengaruhi perolehan suara PDI Perjuangan. Namun hasil survei sejumlah lembaga konsultan politik menunjukkan bahwa tanpa mengusung calon presiden dan calon wakil presiden, tingkat elektabilitas PDI Perjuangan masih berada di posisi teratas, yakni antara 17 sampai 18 persen.

Menimbang untung dan rugi tersebut langkah PDI Perjuangan menghembuskan wacana duet Megawati-Jokowi merupakan langkah yang tepat. Setidaknya untuk waktu sekarang. Karena keseriusan PDI Perjuangan mengusung pasangan Mega-Jokowi masih harus menunggu proses pemilihan legislatif pada April tahun depan.

Jika gagal meraih 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat tentu PDI Perjuangan harus berkoalisi dengan partai lain. Itu artinya Mega belum tentu dipasangkan dengan Jokowi. Saat itu PDI Perjuangan harus memilih salah satu, Megawati atau Jokowi.

*) Erwin Dariyanto adalah jurnalis di detikcom. Tulisan ini mewakili pendapat pribadi, bukan pendapat institusi di mana penulis berkarya.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads