Menurut Suparman, sengketa pilkada pada dasarnya sengketa politik yang materi sengketanya kecurangan-kecurangan politik, yang rumit dan sulit diurai dengan tepat. Ada unsur suap-menyuap, manipulasi, rekayasa dan lainnya, yang terkait satu sama lain.
"Kurang pantas apabila MK memeriksa, mengadili dan memutus sengketa Pilkada," kata Suparman Marzuki.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sedangkan waktu untuk menyelesaikan sengketa terbatas, sehingga peluang hakim MK tidak tepat, lalai dan ceroboh dalam memutus sangat besar. Akibatnya akan mendegradasi kewibawaan MK," sambungnya.
Ia menambahkan, pihak-pihak yang bersengketa adalah pemenang dan yang kalah dalam pertarungan uang, pertarungan gengsi dan tidak jarang dibumbui oleh pertarungan ideologi.
"Sehingga sengketa di MK dinilai sebagai 'pilkada' di meja hakim yang harus dimenangkan. Ini menjadi faktor kondisional dan pendorong pihak-pihak mencari cara memenangkannya dengan pelbagi cara. Isu, rumor, desas-desus, suap hakim MK atau pegawai MK menjadi menyeruak," terangnya.
Ia beraharap, hakim-hakim MK adalah individu berkelas (negarawan) yang diharapkan membuat pertimbangan-pertimbangan berkelas dalam putusannya.
"Sehingga putusannya memiliki legitimasi hukum dan intelektual yang mencerahkan kehidupan sosial yang luas," tandasnya.
(bdh/asp)