Ketua KY: MK Milik Rakyat, Bukan Milik 8 Hakim Konstitusi

Ketua KY: MK Milik Rakyat, Bukan Milik 8 Hakim Konstitusi

- detikNews
Rabu, 18 Des 2013 14:53 WIB
Suparman Marzuki (ari/detikcom)
Surabaya - Pasca penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh KPK, institusi MK melemah dan masyarakat kecewa. Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki melihat ada empat aspek yang harus dirombak untuk membangun MK lebih kuat.

"Setelah peristiwa tersebut, marilah kita secara jernih dan tenang memikirkan dan mengambil langkah membangun MK yang kuat di masa depan," kata Suparman Marzuki.

Hal ini disampaikan di sela-sela acara MoU KY dengan Universitas Dr Soetomo Surabaya dan Seminar Nasional 'Seleksi dan Pengawasan Hakim--Diskursus tentang Kewenangan KY Sistem Rekruitmen dan Pengawasan Hakim (Konstitusi)--' di ruang Soemantri, Gedung A Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Rabu (18/12/2013).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua KY itu menegaskan, MK bukanlah milik 8 hakim konstitusi dan Sekjen MK.

"Seolah-olah hanya mereka yang berhak berbicara, berfikir dan menentukan Alpa Omeganya. MK milik bangsa, milik rakyat dan milik kita semua," tuturnya.

Suparman mengatakan, ada empat aspek yang harus dirombak untuk membangun MK lebih kuat. Pertama, kriteria negarawan yang menjadi syarat hakim MK.

"Saya berpandangan, hakim MK haruslah sosok pribadi yang memiliki integritas, kompetensi dan imparsialitas," ujarnya.

Menurutnya, integritas lebih pada tidak dimilikinya rekam jejak negatif secara hukum, moral dan etik pada calon bersangkutan. Kompetensi menyangkut reputasi keilmuan yang kuat dan relevan serta dibutuhkan. Imparsialitas menyangkut tidak ada rekam jejak parsial.

"Untuk itu, mantan anggota DPR dan atau Menkum HAM tidak pada tempatnya menjadi hakim MK," terangnya.

Aspek kedua, proses rekruitmen. Menurutnya, seharusnya Presiden, MA dan DPR menjadikan institusi tersebut sebagai pintu masuk, dan bukan sebagai jatah.

"Penel ahli yang dimuat dalam Perpu merupakan langkah maju bagi transparansi dan akuntabilitas proses pengisian hakim MK," katanya.

Ketiga, harus didirikan pengawasan eksternal. Kata Suparman, basis asumsi dari pengawasan bukanlah curiga, tetapi kepercayaan.

"Pengawasan adalah bagian dari sistem untuk membangun dan menjaga kepercayaan sehingga reputasi, kehormatan dan martabat institusi bisa dipercaya," terangnya.

Aspek keempat, mengembalikan kewenangan MK seperti diamanatkan UUD 1945.

"Kurang pantas apabila MK memeriksa, mengadili dan memutus sengketa Pilkada," ujarnya.


(bdh/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads