Menurut pemberitaan beberapa media online di Indonesia yang mengutip tajuk The Australian tanggal 16 Desember 2013, penyadapan terhadap Ani Yudhoyono dilakukan atas dasar keamanan negara pasca pengeboman di dua hotel di Jakarta pada Juli 2009 dan masih buronnya, Noordin M Top.
Australia ingin tahu hubungan Istana dengan kelompok-kelompok Islam di Indonesia. Ani disebut-sebut adalah orang paling dekat dan berpengaruh bagi Presiden SBY. Hal ini termaktub juga dalam kabel diplomatik Kedubes AS di Jakarta tahun 2007 yang dibocorkan WikiLeaks.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan keterangan WikiLeaks, ada kabar yang tidak terkonfirmasi bahwa Ibu Negara memperbesar akses kepada Presiden SBY untuk membantu temannya dan membuat musuh SBY. Dalam dokumen tersebut menyebutkan, sosok Jusuf Kalla sebagai musuh SBY. Dokumen juga menyebutkan, peran Ibu Ani Yudhoyono yang kuat juga menjadi perhatian penting di lingkaran intelijen Barat, dan mereka percaya bahwa ibu Ani bukan sekedar pelengkap kepresidenan, melainkan tumbuh cepat menjadi seorang calo kekuasaan di dalam pemerintahan SBY.
Beberapa pejabat negara dari eksekutif dan legislatif membantah WikiLeaks tersebut. Sharif Cicip Sutardjo, Menteri Kelautan dan Perikanan membantah tulisan The Australian dari WikiLeaks yang menyatakan peran ibu negara Ani Yudhoyono sangat dominan di pemerintahan. Ani Yudhoyono sama sekali tak pernah terlihat mengambil kebijakan dalam kabinet menteri. Politisi Partai Golkar ini juga membantah kedekatan insentif Aburizal Bakrie saat menjabat Menko Kesra dengan Ani Yudhoyono.
Sementara itu, Sekretaris Kabinet, Dipo Alam mengatakan, ibu negara Ani Yudhoyono tidak pernah ikut campur urusan kabinet. Selama bekerja sebagai Sekretaris Kabinet, pihaknya tidak pernah melihat atau mengetahui urusan kabinet. WikiLeaks dan The Australian jelas salah besar.
Di kalangan legislatif, Sutan Bhatoegana yang juga Ketua DPP Partai Demokrat mengatakan, peranan ibu negara Ani Yudhoyono sesuai dengan porsinya yakni hanya mendampingi Presiden SBY dalam menjalankan tugas-tugas di pemerintahannya. Sedangkan, Wakil Ketua Komisi I DPR-RI dari Fraksi PDI
Perjuangan, TB Hasanuddin mengatakan, informasi yang dibeberkan WikiLeaks sulit dipegang kebenarannya. Pihaknya mengingatkan, agar tidak mudah percaya dari informasi yang dibocorkan WikiLeaks, sehingga harus waspada dengan apa yang dilaunching dalam WikiLeaks.
Sementara itu, dalam buku “Indonesia, WikiLeaks dan Julian Assange” karya Hendri F Isnaeni disebutkan bahwa, sedari awal telah diketahui bahwa WikiLeaks memiliki 3.095 kawat diplomatik Kedubes AS di Jakarta dan 167 (kawat diplomatik) dari Konsulat Jenderal AS di Surabaya. Dari semua dokumen itu, 1.510 buah berkategori bukan rahasia, 1.451 buah kategori konfidensial, dan 98 buah kategori rahasia.
Dokumen itu mulai dari pemerintahan Soeharto pada 19 November 1990 sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Februari 2010. Pada 7 Februari 2009, WikiLeaks merilis 6.780 laporan Layanan Riset Kongres AS (Congressional Research Service), beberapa di antaranya tentang hubungan AS-Indonesia.
Penyadapan terhadap tokoh-tokoh negara tidak hanya terjadi terhadap Indonesia, melainkan beberapa negara. Menurut Hendrajit (Global Future Institute) dalam tulisannya berjudul “Beberapa Isu Strategis Dibalik Bocoran Snowden”, berdasarkan memo pada 2006 yang beredar di kalangan staf Direktorat Sinyal Intelijen Di Amerika, menyebutkan bahwa lembaga intelijen Amerika Serikat (NSA) menyadap 125 miliar percakapan telepon dan pesan singkat pada Januari 2013.
Banyak di antaranya dari Timur Tengah. Di Arab Saudi dan Irak terdapat 7,8 juta penyadapan, Mesir dan Yordania 1,8 miliar dan 1,6 miliar, menurut Cryptome, sebuah perpusatakan online yang membocorkan dokumen tersebut.
Angka tersebut mencengangkan. Sebab rekaman saluran via telepon itu dilakukan hanya dalam waktu satu bulan. Penyadapan terbanyak adalah di Afganistan. NSA telah menguping sedikitnya 21,9 miliar percakapan. Data lain yang tak kalah mencengangkan adalah, di Pakistan, NSA mengintai sekitar 12,7 miliar pembicaraan telepon.
Bahkan negara-negara sekutu kunci di kawasan tersebut tidak bebas dari pengintaian komunikasi Amerika Serikat. NSA berhasil menyadap komunikasi telepon 1,73 miliar pembicaraan di Iran. Di India 6,2 miliar pembicaraan telepon telah disadap. NSA bahkan diduga menyadap kantor Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York AS dan Badan Atom Internasional (IAEA) di Jenewa.
Beberapa pejabat di Badan Intelijen Amerika Serikat (NSA) tengah mempertimbangkan amnesti kepada Edward J Snowden. Amnesti tersebut nantinya akan ditukar dengan dokumen yang masih dipegang Snowden dari NSA untuk dikembalikan. Wacana amnesti tersebut menurut laporan The Guardian (15/12/2013) dikemukakan pejabat NSA, Richard Ledgett.
Wacana soal pemberian amnesti untuk Snowden ditentang banyak pihak, termasuk Direktur NSA, Jenderal Keith Alexander. Menurutnya, dengan memberikan pria berusia 31 tahun itu amnesti, malah akan memunculkan 'Snowden' baru di masa mendatang. Menurut data Kementerian Kehakiman AS, Snowden didakwa dengan tiga tuduhan, yaitu pencurian properti milik pemerintah, mengakses komunikasi yang tak sah terkait Fenomena Assymetric Warfare dan False Flag Operation informasi pertahanan nasional dan mengakses komunikasi rahasia milik NSA. Masing-masing tuduhan tersebut berbuah 10 tahun bui.
Setiap penyadapan tentunya mempunyai target atau sasaran strategisnya dan mengingat penyadapan adalah cara klasik dalam dunia intelijen atau spionase, maka dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dinas intelijen dalam rangka meminimalisir ancaman.
Sedangkan untuk dapat mengetahui adanya ancaman salah satu indikatornya adalah mengetahui intention atau niat lawan. Untuk mengetahui intention lawan hanya dapat dipakai dengan dua cara yaitu human intelligent melalui planted agent atau signal intelligent atau penyadapan itu sendiri.
Oleh karena itu, penyadapan terhadap Ani Yudhoyono dan pejabat lainnya jika memang benar terjadi, jelas untuk mengetahui intention-nya. Namun, berita yang disampaikan WikiLeaks, Snowden ataupun The Australian dalam konteks sekarang ini harus dilihat dan diterjemahkan sebagai sebuah rangkaian kegiatan subversi dalam bentuk information warfare yang memiliki tema, skema dan strateginya tersendiri.
Penyadapan adalah “temanya”, sedangkan skema yang dibuat untuk menimbulkan ketidakpercayaan rakyat di dalam negeri terhadap kemampuan aparat keamanan dan intelijen dalam mengamankan sektor informasi dan komunikasi, sampai kepada terjadinya assymetric warfare melalui unjuk rasa atau mosi tidak percaya dengan puncak strateginya dari “pemilik hajatan” adalah menggunakan false flag operation (operasi bendera palsu) dengan harapan menggagalkan Indonesia menjadi negara besar pada 2045 mendatang.
Jika Indonesia gagal maju, bonus demografi yang saat ini menjadi keunggulan bisa berbalik menjadi demographic catastrophe yang itu sebenarnya tidak diinginkan oleh beberapa negara termasuk Australia dan Amerika Serikat, karena Indonesia adalah “pivotal” dari kawasan Asia Pasifik itu sendiri. Australia yang sekarang sudah disibukkan dengan bergelombangnya imigran gelap, akan semakin pusing jika instabilitas terjadi di Indonesia, karena tidak menutup kemungkinan imigran gelap berwarga negara Indonesia akan banyak mendatangi Australia.
Oleh karena itu, Five Eyes Surveillance Alliance yang terdiri dari AS, Inggris, Kanada, Australia dan Selandia Baru sebenarnya tidak mau Indonesia atau China menjadi negara gagal, karena takut ekses negatif pada stabilitas kawasan. Yang mereka inginkan adalah membuat Indonesia dan China selalu “terhambat” untuk maju, dengan cara mengganggunya melalui isu-isu murahan seperti yang disampaikan WikiLeaks ataupun Snowden.
Sekarang tinggal kepada kita, masih percaya kepada mereka atau tidak. Itu saja.
*) Herdiansyah Rahman adalah alumnus Fisip Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Kajian Intelijen Strategik (KSI), Universitas Indonesia. Peneliti masalah komunikasi massa dan juga kolumnis.
(nwk/nwk)