Dear Pak Kapolri, Ini Kritik Komnas HAM Soal Polwan Berjilbab

Dear Pak Kapolri, Ini Kritik Komnas HAM Soal Polwan Berjilbab

- detikNews
Rabu, 11 Des 2013 09:09 WIB
Jakarta - Komnas HAM mengkritisi aturan penundaan Polwan berjilbab. Langkah itu dinilai melukai perasaan umat Islam. Polri diminta tak 'melarang' Polwan untuk menjalankan kewajiban agamanya. Jangan juga dipakai dalih soal perlu adanya aturan keseragaman.

"Penundaan itu melanggar HAM," kata komisioner Komnas HAM Manager Nasution dalam surat terbukanya untuk Kapolri Jenderal Sutarman seperti yang diterima detikcom, Rabu (16/12/2013).

Nasution mendapat masukan dari berbagai kalangan dan ormas Islam soal penundaan aturan Polwan berjilbab itu. Komnas HAM mendesak Kapolri untuk mengklarifikasi persoalan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sampai kapan 'penundaan' seperti TR-nya Wakapolri Oegroseno? Dalam perspektif HAM, perdebatan soal penggunaan jilbab tersebut sesungguhnya tak baru," jelasnya.

Nasution kemudian menguraikan, Pertama, berdasarkan fakta historis. Dahulu, pada rezim orde baru (1980-an), wanita-wanita muslim (utamanya mahasiswa, siswi, dan karyawati) harus rela berkorban untuk bisa berjilbab di sekolah, kampus, atau di tempat kerja.

Fenomena ini dibaca secara salah oleh rezim refresif saat itu sebagai indikator kebangkitan (politik) Islam Indonesia.

"Tapi, makin kencang intimidasi, makin hebat semangat 'para pejuang jilbab'. Itu dulu. Sekarang, seiring dengan bertambahnya pemahaman keagamaan dan kesadaran HAM mereka, leluasalah wanita muslim mana pun yang akan berjlbab. Tengoklah cukup mudah dan banyak menjumpai wanita muslim pemegang jabatan strategis seperti gubernur, walikota/bupati, hakim, jaksa, dosen, pengacara, notaris, aktivis NGO/LSM, dan lain-lain, bahkan di Komnas HAM sendiri, yang saat berdinas memakai jilbab," urainya.

Kedua, fakta sosiologis, yaitu kekayaan kearifan lokal (local wisdom) di internal Polri sendiri. Sebutlah, misalnya, pada 2009 Anton Bachrul Alam Kapolda Jawa Timur saat itu mengimbau Polwan mengenakan jilbab.

Ketiga, fakta konstitusional, yaitu UUD 1945. Pada paragraf ketiga pembukaan UUD 1945, jelas sekali bahwa bangsa ini tidak sekedar mengakui eksistensi Allah, tapi juga pertolongan-Nya.

"Tertulis 'Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan….' Kemudian, di UUD 1945 pasal 28 E ayat [1] disebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Dan, negara (termasuk Polri) menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya itu 29 ayat [2]," terangnya.

Keempat, fakta yuridis. Yaitu peraturan per-UU-an yang mengikat semua warga bangsa sehingga terhindar dari pelanggaran HAM. Indonesia telah memasukkan HAM dalam konstitusi, UUD 1945. Indonesia juga telah meratifikasi Universal Declaration of Human Rights/Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), seperti UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

"Dan, secara khusus di UU No.39 Tahun 1999 pasal 4 sangat jelas disebutkan bahwa salah satu hak asasi manusia yang paling hakiki yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun adalah hak untuk beragama. Oleh karenanya, negara (termasuk Polri) wajib menjamin hak-hak tersebut. Pengabaian terhadap kewajiban tersebut adalah pelanggaran HAM," jelasnya.

Selanjutnya yang kelima, fakta teologis. Yaitu faktor keyakinan keagamaan, dalam hal ini Islam. Cara busana adalah sebentuk ibadat Islam. Misal, busana wanita muslim harus menutup auratnya, yaitu sekujur tubuh, kecuali muka dan telapak tangan (baca QS [33]: 59, al-Nur [24]:31, dan HR Abu Dawud terkait dengan busana muslimah)

"Sejatinyalah esensi dari tribarata Polri akan memudahkan Polri memutuskan soal jilbab bagi Polwan, apalagi argumennya hanya soal teknis: design. Bukankah Polri itu dalam pengabdiannya, kesatu, berdasar ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa? Kedua, berdasar Pancasila dan UUD 1945? Ketiga, senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani (termasuk anggotanya sendiri: Polwan)?" tanya Nasution.

Dari lima landasan tersebut, pertama, siapa yang berani membuat peraturan per-UU-an yang bertentangan dengan-Nya? Kedua, jika argumennya belum ada aturan teknis (Perkap), misalnya tentang jilbab bagi polwan, sejatinyalah Perkap yang pernah dibuat (di Aceh) itu boleh menjadi alternatif, ternyata tidak 'serumit' yang digambar oleh Wakapolri dalam TR-nya itu. Ini sejalan dengan spirit lima landasan tersebut.

"Sangat tidak arif, bahkan merupakan sebuah pelanggaran HAM manakala hak-hak Polwan sebagai warga negara diabaikan. Saya, sebagai Komisioner Komnas HAM RI, setidaknya sampai saat ini, masih mampu menghadirkan keyakinan bahwa Bapak Jend Polisi Sutarman Kapolri kita yang baik akan mampu menjawab dengan pasti: kapan Perkapnya diterbitkan?" tegasnya.

"Sejujurnyalah saya tidak berharap bahwa para Polwan pada akhirnya harus melaporkan masalah ini ke Komnas HAM karena mereka tidak bisa mengamalkan agamanya (misalnya dalam berjilbab). Dan, tentu, kalau sampai hal itu terjadi, maka tidak ada pilihan lain, Komnas HAM akan menunaikan kewajiban hukumnya untuk menindaklanjuti. Salam buat pak Kapolri," tutupnya.

(ndr/gah)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads