Kali ini korupsi menggunakan modus yang saling terkoordinasi. Anggaran dan proyek dari pemerintahan pun bisa jadi βmainanβ para elite partai. Pemicunya menurut Direktur Program TII Ibrahim Fahmi Badoh, adalah kecenderungan perputaran uang menjelang pemilu yang sangat besar.
Menjelang pemilu para elite partai dan politisi akan mencari dana untuk biaya kampanye. Salah satu peluanganya adalah dengan menggangsir uang negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

βSkala kebutuhannya ini sangat besar karena kebutuhan kampanye memang sangat tinggi,β kata Bram saat ditemui detikcom, Jumat (6/12) pekan lalu.
Hal yang sama dikatakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto. Menurut dia meningkatnya korupsi menjelang pemilu karena peserta umumnya mencari biaya politik sebanyak-banyaknya. Ongkos polik yang masih sangat tinggi di Indonesia, dituding Bambang sebagai salah satu faktor penyebab teori tersebut.
KPK menurut Bambang memiliki data dan kajian tentang siklus korupsi lima tahunan. Dia mencontohkan kasus 'perampokan' tiga bank besar yang terjadi menjelang pemilu. Yakni, penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia senilai Rp 144,5 triliun tahun 1998, atau menjelang pemilu 1999. Menjelang pemilu 2004 ada kasus pembobolan Bank BNI cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,7 triliun.
Pada tahun 2008 atau menjelang pemilu 2009 terjadi pembobolan dana talangan Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. βJadi ini warning dan sekaligus pertanyaan juga, siklus ini masih jalan enggak,β kata Bambang kepada detikcom, Jumat (6/12) pekan lalu.
Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Agus Santosa menguatkan pernyataan Bambang dan Bram. Berdasarkan hasil riset PPATK, dua tahun menjelang Pemilu atau Pilkada terjadi peningkatan pelaporan hingga 125 persen.
Artinya, memang ada kecenderungan praktik transaksi tunai yang mencurigakan dengan angka tinggi mendekati pemilu. Tahun ini atau menjelang pemilu 2014, PPATK juga sudah mendapat laporan adanya dugaan transaksi mencurigakan.
βDekat Pemilu ini ya begitu sudah ada transaksinya (mencurigakan),β ujar Agus saat diihubungi detikcom.
Menurut Agus ada kecenderungan bahwa calon legislator yang terlapor menunjukkan akan terus menjadi terlapor setelah yang bersangkutan resmi menjabat. Adapun calon kepala daerah berbeda pola perilaku korupsinya. Kalau awalnya sebagai terlapor, maka setelah menjabat sebagai kepala daerah statusnya tidak lagi menjadi terlapor.
Hal ini disebabkan yag bersangkutan menggunakan aparat di bawahnya seperti sekretaris, staf, atau, ajudan dalam melalukan proses transaksi. βPola ini yang mengindikasikan adanya proses mafia birokrasi,β ujarnya.
(erd/erd)