Pekan kemarin ada gelaran festival keraton di Jakarta. Konon melibatkan 165 keraton se-Nusantara dan sepuluh kerajaan dari luar negeri. Sebagai tontonan, festival ini cukup menarik. Betapa kekayaan budaya negeri ini amat tak terkira. Itu terlihat dalam arak-arakan dan pameran yang ada di Monas.
Secara wadag, pameran ini hanyalah pameran. Greget dari pameran itu sekadar ramai dan ria. Tapi secara intuitif, pameran itu tak banyak menyentuh batin. Kereta kencana teronggok apa adanya. Sakralitas dari masing-masing seperti sirna. Dan penyelenggara, memunculkan bagian dari kejayaan masalalu itu hanya sebagai pajangan yang tidak bernas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam khasanah ini, terdapat beberapa idiom tentang sosok calon pemimpin. Ada Satrio Piningit, Satrio Kinunjoro, Satrio Pinandhito, dan tokoh sempalan yang dalam pewayangan disebut Petruk dadi ratu (rakyat jelata yang tampil sebagai pemimpin). Itu istilah yang ditempelkan pada figur yang pernah menjadi orang nomor satu di negeri ini, atau pioner yang pernah difanatisasi rakyat.
Secara umum yang lebih mengemuka adalah idiom Satrio Piningit yang dobel tafsir, sosok atau wacana. Bisa tokoh yang secara batiniah diyakini akan tampil sebagai pemimpin. Atau bisa pula hanya sekadar gambaran dan harapan rakyat terhadap tokoh yang diidamkan di tengah situasi ‘chaos’ atau ‘sepi’ dari tokoh yang menonjol seperti saat ini.
Pemilu tahun 2014 segera tiba. Tidak biasanya pemilu adem-adem saja. Biasanya menggelegak nama tokoh yang diyakini bakal memimpin negeri ini. Partai yang potensial menjadi pelabuhan akhir rakyat untuk mendukung calonnya. Atau rekayasa-rekayasa yang menimbulkan pro-kontra.
Situasi sekarang mungkin cerminan apatisme rakyat terhadap berbagai lembaga. Dari partai politik, eksekutif dan yudikatif yang akrab dengan korupsi. Bisa pula karena rakyat skeptis dengan tokoh-tokoh yang sudah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden mendatang. Sulit dipilih dan dipilah baik-buruknya bak sebuah mata uang.
Dalam situasi seperti inilah Satrio Piningit dalam bentuk wacana menguat. Itu karena tokoh yang diidolakan bakal tampil sebagai pemimpin itu masih nihil. Sosok alternatif yang muncul kemudian adalah Petruk, Satrio Kinunjoro, dan Satrio Pinandhito. Ketiga tokoh ini yang punya kans menempati posisi orang nomor satu di negeri ini kelak.
Petruk adalah gambaran rakyat jelata. Dia sipil dan berasal dari desa. Jika kriteria ini dirujuk dengan tokoh yang sudah ada, maka gambaran itu bisa mengarah pada Jokowi, Dahlan Iskan, dan entah tokoh siapa lagi. Sedang untuk Satrio Pinandhito yang dulu diasumsikan sebagai gambaran Gus Dur rasanya belum ada.
Yang menarik jika Satrio Piningit itu diarahkan pada idiom Satrio Kinunjara yang dulu disematkan pada Bung Karno, maka selain ada Sigit Hardjo Wibisono dan Antasari, bisa pula Anas Urbaningrum (?) atau sosok lain yang terpenjara tidak karena korupsi. Terus apa hubungannya dengan kirab budaya di festival keraton?
Kendati banyak keraton dan rajanya yang enggan ‘mendaftar’ dalam festival ini, tetapi itu cukup mewakili simbol upeti, sendiko terhadap tampilnya pemimpin baru. Sabdo pandhito ratu maujud dalam takaran inferiornya. Benarkah Petruk yang bakal tampil sebagai presiden negeri ini?
Petruk yang bagaimanakah itu? Yang minus gaya ngawurnya, atau justru Petruk yang kemudian dicopot paksa jabatannya oleh sang ayah Semar?
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.
(nwk/nwk)