Godaan Regionalisme Baru, Masihkah Kerjasama Multilateral Relevan?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Godaan Regionalisme Baru, Masihkah Kerjasama Multilateral Relevan?

Sabtu, 07 Des 2013 16:28 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Den Haag - Konferensi Tingkat Menteri WTO IX di Bali telah ditutup dengan sebuah deklarasi bertajuk Paket Bali. Suasana panas yang berujung pada pengunduran waktu penutupan konferensi terjadi karena terjadi deadlock antara India dan Amerika Serikat terkait batas subsidi pemerintah untuk petani. Amerika menginginkan pemerintah minim intervensi terhadap pasar, sesuai lensa ekonomi neoliberal. Sebaliknya India berpendapat bahwa negara dengan rasio tenaga kerja agrikultur tinggi, diperlukan perhatian lebih dari pemerintah, termasuk subsidi terhadap barang dan upah.

Pemberitaan di media internasional menekankan bahwa Paket Bali ini adalah secercah harapan WTO setelah 12 tahun buntunya negosiasi Putaran Doha. Setidaknya dengan hasil yang dicapai di Bali ini ada dua kesepakatan penting untuk negara berkembang. Pertama, kesepakatan akan fasilitasi perdagangan yang dipercaya bisa mendorong USD 1 triliun untuk ekonomi global dan mengurangi biaya transaksi mahal di negara berkembang. Kedua, paket komprehensif untuk membantu negara tertinggal dengan kemudahan ekspor ke negara maju. WTO kini dapat dinilai memiliki program lebih jelas dalam mendorong kampanye kerjasama multilateral ekonomi dunia.

Sebenarnya kerjasama multilateral semacam WTO ini bukan tanpa kritik. Ekonom negara berkembang menilai kerjasama multilateral, termasuk Bank Dunia, dan IMF, hanya menguntungkan negara-negara maju. Sebagai contoh, kebijakan fasilitasi perdagangan sebenarnya menjadi ancaman untuk negara berkembang. Mereka khawatir terkena hukuman karena gagal memenuhi semua persyaratan perdagangan, standar, dan tarif dari kerjasama multilateral ini. Atau paket bantuan negara tertinggal yang tidak lebih dari sekadar bumbu pemanis agar terjadi ketergantungan ekonomi terhadap negara maju. Perlu dipahami, dengan spektrum kekuatan ekonomi yang bervariasi di 160 negara anggota WTO, sangat memungkinkan terjadi hubungan patron-klien dalam relasi kerjasama yang seharusnya setara dan sejajar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, muncul juga sikap sinis terhadap mata uang USD (Dollar Amerika Serikat), yang kini digunakan sebagai mata uang perdagangan internasional. Dinamika ekonomi Amerika Serikat, yang belum kunjung stabil serta kacaunya rasio jumlah cetakan USD dengan jumlah cadangan devisa emas Amerika Serikat membuat beberapa pihak meragukan mata uang ini sebagai alat tukar menjanjikan untuk jangka panjang. Itulah mengapa, sebuah tata kelola regionalisme baru sebuah kerjasama sejajar antar negara lintas batas geografi dan dibangun dengan kesamaan tujuan ekonomi- seperti BRICS (Brazil Rusia India Cina Afrika-Selatan) mulai pertimbangkan untuk membuat mata uang khusus untuk perdagangan antara ke-5 negara ini. Dengan tujuan agar bisa lebih saling menguntungkan, mampu bersaing dengan USD atau Euro, dan lebih tahan terhadap dinamika ekonomi dunia.

Bekaca pada dinamika kerjasama multilateral dan berkembangnya regionalisme baru, Indonesia pun punya hak untuk memilih mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apakah tetap bersaing dengan kerjasama multilateral yang dalam beberapa sektor merugikan produsen lokal, atau mencoba mengagas sebuah regionalisme baru agar terbangun sebuah kerjasama ekonomi yang sejajar dan menguntungkan untuk Indonesia. Saya sendiri melihat ada peluang bagi Indonesia untuk membangun sebuah kerjasama regionalisme baru, apakah dengan ASEAN-5 (Indonesia Malaysia Singapura Thailand dan Filipina) atau mengikuti saran ekonom senior Goldman Sachs Jim ONeil dengan menginisiasi MIST (Meksiko Indonesia Korea-Selatan Turki).

Pilihan membangun regionalisme baru bagi Indonesia ini saya perkirakan akan bisa lebih prospektif dengan lima pertimbangan berikut: (1) negosiasi tidak akan sepanjang kerjasama multilateral, yang mana setiap negara berhak menolak sebuah kesepakatan hingga konsensus gagal. (2) kesejajaran dalam negosiasi, sehingga tidak ada sifat ketergantungan dan inferioritas dalam kerjasama. (3) membuka kemungkinan kerjasama perdagangan yang tidak harus murni pasar bebas, sehingga peran pemerintah tetap bisa dipertahankan terutama untuk melindungi produsen lokal. (4) membuka kesempatan untuk membangun mata rantai produksi global antara negara yang akan membuat konektifitas ekonomi Indonesia lebih kuat dengan negara prospektif. (5) mengurangi ketergantungan pada mata uang seperti USD, dengan membuka wacana untuk membuat mata uang khusus antara negara dalam kerjasama regionalisme baru tersebut.

Keterangan penulis:
Penulis adalah seorang pemerhati politik-ekonomi, tinggal di Den Haag.
(es/es)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads