Pemberitaan di media internasional menekankan bahwa Paket Bali ini adalah secercah harapan WTO setelah 12 tahun buntunya negosiasi Putaran Doha. Setidaknya dengan hasil yang dicapai di Bali ini ada dua kesepakatan penting untuk negara berkembang. Pertama, kesepakatan akan fasilitasi perdagangan yang dipercaya bisa mendorong USD 1 triliun untuk ekonomi global dan mengurangi biaya transaksi mahal di negara berkembang. Kedua, paket komprehensif untuk membantu negara tertinggal dengan kemudahan ekspor ke negara maju. WTO kini dapat dinilai memiliki program lebih jelas dalam mendorong kampanye kerjasama multilateral ekonomi dunia.
Sebenarnya kerjasama multilateral semacam WTO ini bukan tanpa kritik. Ekonom negara berkembang menilai kerjasama multilateral, termasuk Bank Dunia, dan IMF, hanya menguntungkan negara-negara maju. Sebagai contoh, kebijakan fasilitasi perdagangan sebenarnya menjadi ancaman untuk negara berkembang. Mereka khawatir terkena hukuman karena gagal memenuhi semua persyaratan perdagangan, standar, dan tarif dari kerjasama multilateral ini. Atau paket bantuan negara tertinggal yang tidak lebih dari sekadar bumbu pemanis agar terjadi ketergantungan ekonomi terhadap negara maju. Perlu dipahami, dengan spektrum kekuatan ekonomi yang bervariasi di 160 negara anggota WTO, sangat memungkinkan terjadi hubungan patron-klien dalam relasi kerjasama yang seharusnya setara dan sejajar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bekaca pada dinamika kerjasama multilateral dan berkembangnya regionalisme baru, Indonesia pun punya hak untuk memilih mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apakah tetap bersaing dengan kerjasama multilateral yang dalam beberapa sektor merugikan produsen lokal, atau mencoba mengagas sebuah regionalisme baru agar terbangun sebuah kerjasama ekonomi yang sejajar dan menguntungkan untuk Indonesia. Saya sendiri melihat ada peluang bagi Indonesia untuk membangun sebuah kerjasama regionalisme baru, apakah dengan ASEAN-5 (Indonesia Malaysia Singapura Thailand dan Filipina) atau mengikuti saran ekonom senior Goldman Sachs Jim ONeil dengan menginisiasi MIST (Meksiko Indonesia Korea-Selatan Turki).
Pilihan membangun regionalisme baru bagi Indonesia ini saya perkirakan akan bisa lebih prospektif dengan lima pertimbangan berikut: (1) negosiasi tidak akan sepanjang kerjasama multilateral, yang mana setiap negara berhak menolak sebuah kesepakatan hingga konsensus gagal. (2) kesejajaran dalam negosiasi, sehingga tidak ada sifat ketergantungan dan inferioritas dalam kerjasama. (3) membuka kemungkinan kerjasama perdagangan yang tidak harus murni pasar bebas, sehingga peran pemerintah tetap bisa dipertahankan terutama untuk melindungi produsen lokal. (4) membuka kesempatan untuk membangun mata rantai produksi global antara negara yang akan membuat konektifitas ekonomi Indonesia lebih kuat dengan negara prospektif. (5) mengurangi ketergantungan pada mata uang seperti USD, dengan membuka wacana untuk membuat mata uang khusus antara negara dalam kerjasama regionalisme baru tersebut.
Keterangan penulis:
Penulis adalah seorang pemerhati politik-ekonomi, tinggal di Den Haag.
(es/es)