Dalam perjalanan WTO, organisasi ini bersama Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) mencoba membuka ruang perdagangan bebas dan mengurangi intervensi pemerintah terhadap pasar melalui berbagai skema, termasuk demokrasi, desentralisasi, dan tata kelola pemerintah berbasis multi-stakeholder. WTO berusaha meyakinkan negara berkembang, atau yang mereka sebut βSelatanβ, untuk bisa menjadi negara terbuka dan membiarkan pasar bekerja hingga dapat meningkatkan ekonomi negara. Namun, kritik bermunculan dari kalangan ekonom negara berkembang, tentang apakah tata kelola perdagangan dunia sudah memihak pada kelompok ekonomi rendah? Dalam pertemuan tingkat menteri WTO ke-4 di Doha, dimulai sebuah babak baru dalam negosiasi standar, tarif, pajak, dan regulasi ekspor-impor yang dikenal dengan sebutan Putaran Doha. Negosiasi ini masih terus terjadi hingga saat ini karena perbedaan kepentingan yang terus berubah dari setiap negara.
Salah satu perdebatan yang sering mencuat adalah tentang penerapan standard untuk produk yang akan masuk ke sebuah negara. Contohnya di bidang pertanian, tinggi dan detailnya standar terutama untuk masuk ke Eropa dan Amerika seringkali menyulitkan petani di negara berkembang untuk bisa bersaing di ekonomi global. Dampaknya, dengan alasan efesiensi dan kemampuan skala ekonomi, munculah perusahaan multinasional besar yang mengkooptasi lahan pertanian di sebuah negara dan kemudian mengekspor hasil olahan pertanian ke negara-negara tujuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ironisnya, standar dan tarif ini seringkali diimplementasikan sebagai alat untuk mengatur arus perdagangan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perusahaan dari negara-negara maju pun tidak menjalankan standar ini dengan baik. Banyak penyelewengan meski pun mereka telah memperoleh label standar. Namun mereka menjadikan standar ini sebagai alasan untuk menekan harga produk dari negara berkembang atau membatasi barang masuk agar tidak merusak pasar harga dalam negeri. Mudahnya, standar dan tarif adalah alat proteksionisme ekonomi modern dari negara maju untuk menstabilkan pasar domestik mereka. Jelas, praktik semacam ini merugikan negara berkembang. Mereka yang telah maju akan semakin kuat, dan mereka yang baru berkembang akan sulit bersaing.
Selain kritik terhadap tatakelola perdagangan yang berlangsung, WTO juga sedang mengalami dinamika pasca kelahiran ekonomi kuat baru dunia, seperti Cina, India, Korea Selatan, Turki, Brazil, dan Indonesia. Kehadiran mereka membentuk ekonomi multi-polar di dunia saat ini, tidak lagi hanya bertumpu pada Amerika dan Eropa. Tentu dalam sebuah struktur ekonomi dunia baru juga diperlukan sebuah tatakelola baru. Negara ekonomi berkembang ini memiliki lensa yang berbeda dalam melihat WTO, mereka menilai seharusnya perdagangan dunia itu bisa bekerja dan bermanfaat untuk semua negara, tanpa kecuali. Mereka melihat, sudah cukup era di mana negara maju mendominasi perekonomian dan negara berkembang hanya bisa menggantungkan diri pada mereka. Para pakar developmentalis dunia melihat kampanye ekonomi neoliberal adalah perwujudan neo-kolonialisme modern.
Saya melihat, Konsensus Washington kini telah mencapai jurang akhir, dunia telah berubah dan kampanye ekonomi neoliberal telah terbukti gagal memberikan stabilitas ekonomi dan menghadirkan kesejahteraan hingga tingkat individu secara merata. Sebuah gagasan baru kini mencuat dalam negosiasi WTO, yaitu Konsensus Geneva. Konsensus segar ini mengutamakan kerjasama sejajar antar negara, mendorong peran pemerintah agar bisa berperan strategis dalam menaruh fondasi kebijakan politik dan ekonominya, dan bertujuan untuk bisa menjadikan perdagangan internasional sebagai instrumen untuk mendorong kesejahteraan inklusif.
Keterangan penulis:
Penulis adalah seorang pemerhati politik-ekonomi, tinggal di Den Haag.
(es/es)