Demonstran mengultimatum PM Yingluck untuk mundur dalam waktu dua hari semenjak Minggu (1/12). Mereka juga meminta agar kekuasaan diberikan kepada 'Dewan Rakyat' yang berisi perwakilan para demonstran.
Menanggapi hal ini, PM Yingluck menyatakan dirinya tidak bisa memenuhi permintaan demonstran karena itu berarti melanggar hukum. Permintaan para demonstran dianggap bertentangan dengan konstitusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun Yingluck menyatakan dirinya akan mempertimbangkan untuk mundur atau mengumumkan pemilu dini, jika saja demonstran menginginkannya. Namun demonstran selalu menyebut hal tersebut tidak cukup dan menginginkan hal lain. Yingluck menegaskan, pemerintah terbuka atas segala opsi demi mengembalikan perdamaian di Thailand.
Lebih lanjut, PM Yingluck menegaskan bahwa polisi tidak akan menggunakan kekerasan terhadap para demonstran. Namun hal berbeda disampaikan Kepala Badan Keamanan Nasional Thailand, Paradorn Pattanathabutr yang mengakui adanya penggunaan peluru karet serta gas air mata untuk menghalau demonstran.
Paradorn menuturkan hal tersebut dilakukan karena para demonstran mengancam untuk menyerbu kantor PM Yingluck atau yang disebut Government House yang ada di tengah kota Bangkok. Para demonstran mengepung kantor PM Yingluck yang telah diberi barikade beton.
"Kami berganti-ganti menggunakan meriam air, gas air mata dan peluru karet. Peluru karet hanya digunakan di satu area saja, yaitu di jembatan dekat Government House," tutur Paradorn seperti dilansir Reuters.
Pemimpin unjuk rasa, Suthep Thaugsuban menolak untuk menghentikan aksi. Dia bertekad melanjutkan demo meski dirinya tengah menghadapi dua surat perintah penangkapan, untuk dakwaan pemberontakan dan pendudukan kantor pemerintah.
Untuk dakwaan pemberontakan, Suthep terancam hukuman mati atau penjara seumur hidup, namun dia tidak mengkhawatirkannya. "Saya akan menyerahkan diri... jika saya sudah selesai," ucapnya.
(nvc/mad)