"Jika ada putusan yang terindikasi judicial corruption ataupun sebab lain, maka tidak mengurangi sifat final dan mengikat keberlakuan putusan. Dan juga tidak ada lembaga manapun yang dapat menganulir putusan, kecuali pengadilan itu sendiri melalui mekanisme yang diatur dalam undang-undang," tutur Wakil Ketua MK Arief Hidayat, Jumat (29/11/2013).
Arief berbicara dalam seminar 'Dekonstruksi Gerakan dan Pemikiran Hukum Progresif' di Hotel Patra Jasa, Semarang, Jawa Tengah. Arief mengakui memang kasus mantan Ketua MK Akil Mochtar telah menjadi badai yang mengguncang MK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, MK mengaku sebagai lembaga penganut mazhab Hukum Progresif. Mazhab yang lahir dari pemikiran Satjipto Rahardjo ini menjunjung tinggi adagium 'hukum adalah untuk manusia'.
Peraturan tak adil akan diterjang jika menghalangi para pelaku hukum progresif dalam menghadikan keadilan untuk manusia. Hukum progresif membolehkan langkah interprestasi baru terhadap peraturan.
Hidayat menjelaskan, MK merupakan institusi terakhir yang bisa meninjau undang-undang secara kreatif dan progresif. "Siapa yang bisa meninjau? Yang bisa meninjau adalah hakim konstitusi, karena hakim konstitusi adalah pengawal terakhir konstitusi," pungkasnya.
(dnu/rmd)