"Kalau Azlaini disebut sebagai pemarah kepada stafnya, mungkin itu bagian dari karakternya. Tapikan yang dimarahi itu stafnya agar bisa bekerja yang lebih baik lagi. Lantas apa hubungannya, keputusan Ombudsman antara tudingan emosional ke staf dengan petugas di Bandara Pekanbaru? Inikan dua konteks yang berbeda," kata kuasa hukum Azlaini Agus, Kapitra Ampera kepada detikcom, Jumat (29/11/2013).
Menurut Kapitra, setiap individu tidak bisa dituntut untutk berperilaku yang sama dengan etnis lain. Azlaini memiliki kultur, budaya gaya Sumatera dan memiliki lingkungan tersendiri. Karakter seseorang tidak bisa disamakan seluruhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila karakter Azlaini itu, lanjut Kapitra, mempengaruhi sistem kinerjanya di Ombudsman tidak berjalan, hal itu mungkin bisa menjadi jadi patokan.
"Apakah Azlaini selama ini dengan karakternya temperamen itu tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai Wakil Ketua? Buktinya semua tugas bisa berjalan dengan baik," kata Kapitra.
Menurut Kapitra, Majelis Kehormatan Ombudsman dalam menangani masalah Azlaini Agus sangat subjektif.
"Apakah selama ini dengan tudingan tempramen itu ada melahirkan tindakan yang melawan hukum?," kata Kapitra.
Kapitra menyebut, tudingan memarahi staf dan memaki di lingkungan Ombudsman sama sekali tidak ada keterkaitan dengan kasus dugaan penamparan itu.
"Kasus dugaan penamparan itu seakan menjadi pintu masuk pihak-pihak di Ombudsman untuk menyingkirkan Azlaini. Inilah yang kita lihat adanya konspirasi buruk dibalik keputusan Majelis Kehormatan Ombudsman," kata Kapitra.
"Majelis Kehormatan itu sudah mengkangkangi kode etik mereka sendiri yang menyebutkan anggota bisa diberhentikan bila tersansung kasus hukum dengan vonis 5 tahun. Ini membuktikan, Ombudsman tidak profesional dalam mengambil keputusan, terkesan mengekedepankan pendapat pribadi. Sebaiknya bubarkan saja Ombudsman itu, karena di lingkungan internalnya sendiri tidak bisa mematuhi aturan yang ada," kata Kapitra.
(cha/ndr)