Keputusan MA ini disesalkan dokter spesialis kandungan Hakim Sorimuda Pohan, yang juga mantan anggota Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan.
"Majelis hakim di MA menggunakan KUHP, tidak memakai peraturan-peraturan yang ada dalam profesi kedokteran. Dalam profesi kedokteran itu ada tuntutan penanganan pasien, nah itu tidak masuk dalam KUHP karena itu sangat dinamis. Tahun ini penanganan pasien ABCD, tahun besok cukup ABC, 4 tahun lagi bisa CDEF," kata Hakim ketika berbincang dengan detikcom, Rabu (7/11/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tetapi menurut pemeriksaan PN (PN Manado), sudah bisa diterima, bisa dibenarkan dokter sudah bekerja menurut tuntutan pelaksanaan profesi, tidak menyimpang," jelas dr Hakim.
Yang disayangkannya adalah putusan kasasi di tingkat MA. MA dinilainya mencari-cari celah hukum yang bisa dianggap sebagai kekurangsempurnaan.
"Menurut istilah yang saya berikan itu 'peradilan yang licik'. Mencari-cari. Menurut hemat saya, peradilan sengaja mencari-cari lubang-lubang yang masih bisa dimasuki. Bukan peradilan yang mengadili fakta tapi mengadili kekurangsempurnaan rumah sakit di daerah," jelas Hakim.
Hakim menjelaskan masalahnya ada pada perbedaan interpretasi dari para hakim di PN dan hakim di MA. Hakim pada tingkat PN menyatakan bahwa kematian pasien dr Ayu Cs disebabkan kejadian komplikasi medis yang sangat jarang terjadi, emboli air ketuban.
Mantan politisi Partai Demokrat ini menuturkan, emboli air ketuban itu itu angka kejadiannya 1 di antara 500 ribu persalinan. Artinya, setengah juta orang melahirkan terjadi satu kasus.
"Tidak semua orang punya pengalaman untuk itu. Dan fatalitasnya, artinya mati apa tidak, hampir 100 persen tidak bisa diselamatkan. Kalau itu terjadi, kalau semua dibebankan kepada tanggung jawab dokter yang melakukan operasi, saya yakin dan dari data-data yang saya punya, semua dokter dan semua RS sudah mengerahkan segala daya untuk menyelamatkan pasien. Tapi saya yakin juga bahwa jaranglah yang berhasil," jelas dr Hakim.
Berdasar buku ilmu kedokteran tentang emboli air ketuban dan pengalamannya pribadi sebagai dokter, seorang dokter selalu berusaha sekuat tenaga tapi jarang pasien yang selamat.
"Saya sendiri punya pengalaman seperti itu, berusaha mati-matian tapi tidak selamat. Siapa pun yang melakukan pertolongan, dokter spesialis atau masih dokter pendidikan, tidak berpengaruh banyak," imbuhnya.
Dokter bekerja untuk RS yang memiliki peraturan sendiri. RS ini adalah badan hukum sehingga dokter dan paramedis yang bekerja di RS bisa terlindung dari peraturan yang dikeluarkan RS. Peraturan RS ini tidak dicantumkan di KUHP yang dijadikan dasar MA memenjarakan dokter Ayu Cs.
"Kalau level rumah sakitnya sudah menyatakan terjadi kasus ini, dengan SOP yang sudah ada, ketika sudah dilakukan masih terjadi kematian, siapa yang disalahkan? Kalau tidak melakukan tindakan hingga menyebabkan kematian, nah dia (dokter) sudah melakukan (tindakan sesuai SOP)," jelas dr Hakim.
3 Hakim MA (Dr Artidjo Alkostar, Dr Dudu Duswara Machmudin dan Dr Sofyan Sitompul) sepakat menghukum karena saat korban masuk RSU, keadaan umum korban lemah dan status penyakit korban berat. Para terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban, tidak menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban.
"Perbuatan melakukan operasi yang kemudian terjadi emboli udara yang masuk dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung," ujar majelis hakim yang diputus secara bulat, tidak ada perbedaan pendapat.
"Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausul dengan meninggalnya Siska sesuai surat keterangan dari RS tanggal 26 April 2010," sambung majelis hakim dalam putusan yang diketok pada 18 September 2012.
(nwk/nrl)