Kapolri Jenderal Sutarman memberikan izin tersebut dengan alasan untuk mengakomodir hak asasi seseorang. Namun ada kekhawatiran bahwa seragam tersebut akan berdampak pada aktivitas polisi sebagai penegak hukum.
Selain itu, aparat polisi yang berjilbab dikhawatirkan makin menonjolkan perbedaan dan menciptakan diskriminasi antara sesama pemeluk agama di dalam institusi tersebut. “Aku kurang setuju, nanti makin kelihatan dong perbedaan agama,” kata Ira, 25, salah satu warga Bekasi ketika berbincang dengan detikcom, Selasa (26/11).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Irwan, 35, warga Depok, mengatakan boleh saja polwan diberikan keleluasaan untuk mengenakan jilbab saat bertugas. “Asal tak mengganggu pekerjannya sehari-hari, tidak ribet kalau melangkah terutama yang pakai rok panjang,” kata dia saat ditemui detikcom, Selasa (26/11).
Adapun pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menilai kebijakan Kapolri yang mengizinkan polisi wanita memakai jilbab akan meningkatkan citra lembaga penegak hukum tersebut. Namun, hanya sebatas kesan baik saja karena citra positif yang sebenarnya bisa diperoleh dengan menjaga perilaku profesional sebagai petugas kepolisian.
Bambang menekankan penentuan citra Polri tergantung kinerja pelayanan mereka terhadap masyarakat. Bukan karena persoalan busana yang bisa dilihat fisik semata. Menurutnya, selama ini, kinerja kepolisian dikeluhkan karena buruknya pelayanan dan kental dengan praktik korupsi.
“Kalau mereka bisa bangun, ya enggak masalah. Misalkan mereka tetap korupsi atau yang polwan berselingkuh ya jadi tercemar dan itu ganggu citra polisi,” kata Bambang kepada detikcom, Selasa (26/11).
Anggota Komisi Hukum DPR, Deding Ishak, mengakui penggunaan jilbab memang bisa meningkatkan citra Polri. Namun, keputusan ini lebih sebagai respons menyesuaikan kebutuhan hak asasi manusia.
Baginya tidak ada masalah menggunakan jilbab di negara yang mayoritas penduduk muslim. "Polisi wanita Malaysia sudah pakai jilbab. Indonesia saya rasa enggak masalah,” katanya kepada detikcom, Selasa (26/11).
(brn/brn)