Tak pelak, gerakan pelajar sejak inisiasinya pada 1908 selalu memiliki unsur politik nilai sebagai bagian dari perjuangan. Pelajar dalam konteks Bung Hatta ialah mereka yang punya kompetensi, sadar akan tanggung jawab berbangsa, dan cakap dalam bersosial masyarakat. Salah satu embrio dari kemerdekaan Indonesia adalah gerakan perjuangan pelajar Indonesia di luar negeri. Dulu, pelajar Indonesia berpusat di Belanda dan Timur Tengah, kini jumlah pelajar yang berdiaspora keluar negeri semakin bertambah dan juga telah menjangkau banyak negara. Saya melihat pelajar Indonesia di luar negeri ini cenderung rasional dan dewasa. Artinya dia mampu melihat politik sebagai upaya untuk melakukan perubahan. Dan apabila akhirnya ia memutuskan untuk bergabung dalam partai politik, maka ia telah memiliki alasan kuat; salah satunya kedekatan ideologis dirinya dengan partai tertentu.
Pelajar tidak boleh alergi dengan partai politik, begitu juga sebaliknya. Yang perlu adalah kemampuan dari pelajar tersebut untuk bisa membedakan kapan ia berperan sebagai bagian dari partai politik atau sebagai pelajar. Saya pernah berdiskusi dengan pelajar Australia, di sana tidak ada ketabuan bagi seorang pelajar untuk mengidentifikasikan dirinya pada partai politik tertentu karena mereka telah berdemokrasi secara dewasa. Sehingga, bila ada ketabuan dan ketakukan berlebihan pada partai politik, artinya ia belum cukup matang dalam melihat politik dan demokrasi itu sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pola pikir anti-demokrasi ini pernah menjadi alat propaganda Orde-Baru agar pelajar kembali ke kelas dan akhirnya terjadi pembusukan organisasi pelajar. Aneh, bila dalam era terbuka dan demokrasi seperti saat ini, masih ada pelajar yang berpikir mundur ke belakang. Lantas bagaimana organisasi pelajar mengkonstruksikan gerakan politiknya?
Ada tiga aspek yang perlu menjadi titik penekanan. Pertama, konsep pergerakan politik pelajar adalah politik nilai. Artinya pelajar beradu gagasan untuk memperjuangkan nilai-nilai positif dan pro-rakyat. Di sinilah urgensi idealisme itu menjadi penting, pelajar a-idealis sulit menentukan apa nilai yang akan diperjuangkan, sehingga ia cenderung apolitis. Kedua, pergerakan politik pelajar bersifat multi-kompetensi. Di sinilah peran organisasi pelajar sebagai wadah untuk menyambungkan ide segar yang berkembang di antara pelajar menjadi sebuah gagasan utuh yang dapat menjadi embrio perubahan kebijakan negara. Ketiga, konsistensi, mengalir dan berjiwa muda, dalam mengekspresikan politik nilai, pelajar perlu sadar bahwa perubahan itu butuh efek bola salju yang cukup panjang.
Pelajar juga tidak boleh terjebak pada logika berpikir kaku dari generasi yang lebih tua. Perlu ada perbedaan antara tua dan muda agar dinamika Indonesia terjadi. Ingat, bila tidak ada ‘konflik’ kaum muda dan tua menjelang kemerdekaan, belum tentu Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Keterangan penulis:
Penulis adalah pemerhati masalah-masalah sosial dan politik, tinggal di Den Haag.
(es/es)