Belanda penjajah, kejam, penjarah, dan semua yang jelek-jelek adalah Belanda. Budaya korupsi dan upeti pun itu gara-gara Belanda. Kita jadi begini karena dijajah Belanda. Begitulah galibnya cara pandang kita. Bahkan kalau sedang marah dan mengumpat pun Belanda masih sering dijadikan sasaran, "Londo edan!", "Dasar kumpeni!" Dan ini mengendap di alam bawah sadar, turun-temurun, berurat berakar. Sebaliknya, di kalangan masyarakat Belanda pun setali tiga uang: orang Indonesia rampokkers, bengis, tidak kenal perikemanusiaan. Lho, salah apa kita? Kita kan korban? Tapi pernahkah terlintas dalam kesadaran kita, bahwa banyak orang sipil Belanda, warga biasa, non-combatan, termasuk wanita dan anak-anak, ikut terbunuh, sebagaimana warga biasa kita ikut terbunuh?
Konflik berdarah dihapuskan tak mudah. Ketika sebagian kalangan kita mengajukan gugatan ganti rugi, ketika itu pula menguat desakan dari masyarakat Belanda agar pemerintahnya membuka arsip-arsip berdarah oleh orang-orang Indonesia dan mengajukan tuntutan balik untuk ganti rugi juga. Dalam perspektif ini, Belanda memiliki posisi lebih baik. Kita umumnya mewarisi data secara lisan, tetapi Belanda mendokumentasikannya secara rapi, bahkan kini telah didigitalisasi. Ada yang mati ditusuk dengan bambu runcing, dicincang, atau disembelih. Fakta-fakta ini yang agaknya belum sampai ke masyarakat kita. Jika arsip-arsip ini dibuka, dipastikan akan sangat mengguncang. Kontroversi-kontroversi akan membesar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tingkat masyarakat, bisa saja masih terus ada dorongan untuk gugat-menggugat. Tapi fakta-fakta berikut ini perlu menjadi bahan pemikiran: (1) Operasi di Rawagede dan Sulawesi Selatan oleh Belanda saat itu dinyatakan ilegal, tanggung jawab ada pada perwira bersangkutan, (2) Kapten Westerling telah tutup usia pada 1987, gugur aspek pidananya, (3) Pengadilan Den Haag menerima perkara Rawagede bukan sebagai perkara pidana melainkan perdata dengan nomor 354119/HA ZA 09-4171, peristiwa terjadi di wilayah yurisdiksi Belanda, korbannya subyek hukum Belanda, (4) Skenario menuntut pampasan perang bisa ahistoris, karena Republik dalam proses peralihan kekuasaan justru bersedia membayar kepada Belanda 6 miliar gulden, (5) Pembantaian atau eksekusi tanpa proses pengadilan juga dilakukan oleh kita. Orang Belanda, Indo, minoritas Asia, dan warga kita sendiri, banyak yang dieksekusi atas tuduhan sebagai kaki tangan Belanda. Arsip- arsip horor itu jika dibuka kelak bisa menjawab, tetapi mungkin kita tidak siap.
Beestenmarkt, 23 November 2013
Keterangan penulis:
Penulis adalah koresponden detikcom di Belanda. Tulisan ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan redaksi.
(es/es)