Berkaca, Ini Indonesia-Belanda 2.0
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Berkaca, Ini Indonesia-Belanda 2.0

Minggu, 24 Nov 2013 15:41 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Den Haag - Masa lalu Belanda-Indonesia memang penuh trauma. Fisik dan psikis, pada kedua pihak, dua- duanya. Pernah hidup bersama cukup lama, diawali dengan kekerasan, kemudian berpisah juga dengan kekerasan. Mustahil semua itu tak meninggalkan jejak luka, trauma. Trauma ini pula yang terus menghantui hubungan kedua negara. Ini fakta tak terbantahkan. Begitu kedua pihak saling menyebut nama satu sama lain, Indonesia-Belanda, residu dari trauma itu muncul kembali ke permukaan, diperkuat oleh memori buruk dan cara pandang stereotype masing-masing.

Belanda penjajah, kejam, penjarah, dan semua yang jelek-jelek adalah Belanda. Budaya korupsi dan upeti pun itu gara-gara Belanda. Kita jadi begini karena dijajah Belanda. Begitulah galibnya cara pandang kita. Bahkan kalau sedang marah dan mengumpat pun Belanda masih sering dijadikan sasaran, "Londo edan!", "Dasar kumpeni!" Dan ini mengendap di alam bawah sadar, turun-temurun, berurat berakar. Sebaliknya, di kalangan masyarakat Belanda pun setali tiga uang: orang Indonesia rampokkers, bengis, tidak kenal perikemanusiaan. Lho, salah apa kita? Kita kan korban? Tapi pernahkah terlintas dalam kesadaran kita, bahwa banyak orang sipil Belanda, warga biasa, non-combatan, termasuk wanita dan anak-anak, ikut terbunuh, sebagaimana warga biasa kita ikut terbunuh?

Konflik berdarah dihapuskan tak mudah. Ketika sebagian kalangan kita mengajukan gugatan ganti rugi, ketika itu pula menguat desakan dari masyarakat Belanda agar pemerintahnya membuka arsip-arsip berdarah oleh orang-orang Indonesia dan mengajukan tuntutan balik untuk ganti rugi juga. Dalam perspektif ini, Belanda memiliki posisi lebih baik. Kita umumnya mewarisi data secara lisan, tetapi Belanda mendokumentasikannya secara rapi, bahkan kini telah didigitalisasi. Ada yang mati ditusuk dengan bambu runcing, dicincang, atau disembelih. Fakta-fakta ini yang agaknya belum sampai ke masyarakat kita. Jika arsip-arsip ini dibuka, dipastikan akan sangat mengguncang. Kontroversi-kontroversi akan membesar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemerintah kedua pihak nampaknya menyadari bahwa membuka 'arsip horor' tersebut tidak akan memberi kontribusi positif apa pun bagi kelangsungan hubungan bilateral kedua negara, terlebih dari kepentingan ekonomi, yang sejauh ini neracanya selalu surplus bagi Indonesia. PM Mark Rutte di media Belanda tegas menyatakan bahwa episode lama telah ditutup, dijadikan pelajaran untuk bersama menatap ke masa depan. Posisi Belanda dikatakan telah jelas melalui langkah nyata Menlu Ben Bot (2005), yang terus ditegaskan ulang pada tiap kesempatan resmi dan berupa ganti rugi melalui putusan pengadilan terhadap korban ekses perang. Wakil Presiden Hatta sendiri pada pembukaan Konferensi Meja Bundar telah menyampaikan, "Empat tahun lamanya rakyat kita timbal balik hidup dalam persengketaan, dengan merasa dendam dalam hati. Kini saatnya memasuki sejarah baru dilandaskan pada perdamaian dan kerjasama," (Den Haag, 23 Agustus 1949).

Di tingkat masyarakat, bisa saja masih terus ada dorongan untuk gugat-menggugat. Tapi fakta-fakta berikut ini perlu menjadi bahan pemikiran: (1) Operasi di Rawagede dan Sulawesi Selatan oleh Belanda saat itu dinyatakan ilegal, tanggung jawab ada pada perwira bersangkutan, (2) Kapten Westerling telah tutup usia pada 1987, gugur aspek pidananya, (3) Pengadilan Den Haag menerima perkara Rawagede bukan sebagai perkara pidana melainkan perdata dengan nomor 354119/HA ZA 09-4171, peristiwa terjadi di wilayah yurisdiksi Belanda, korbannya subyek hukum Belanda, (4) Skenario menuntut pampasan perang bisa ahistoris, karena Republik dalam proses peralihan kekuasaan justru bersedia membayar kepada Belanda 6 miliar gulden, (5) Pembantaian atau eksekusi tanpa proses pengadilan juga dilakukan oleh kita. Orang Belanda, Indo, minoritas Asia, dan warga kita sendiri, banyak yang dieksekusi atas tuduhan sebagai kaki tangan Belanda. Arsip- arsip horor itu jika dibuka kelak bisa menjawab, tetapi mungkin kita tidak siap.

Beestenmarkt, 23 November 2013

Keterangan penulis:
Penulis adalah koresponden detikcom di Belanda. Tulisan ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan redaksi.
(es/es)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads