Peristiwa yang dimaksud adalah penangkapan mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK dan kericuhan di tengah persidangan. Menurut Sidarto, hal ini tak lepas dari perilaku para hakim MK yang seharusnya menjaga wibawa melalui ketukan palunya.
"Hakim itu bicara melalui ketukannya yang berwibawa. Tidak ada di antara kita itu yang sempurna," kata Sidarto dalam acara 'Diskusi Publik MK RI dan Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara' di Royal Kuningan Hotel, Jalan Kuningan Persaada, Jakarta Selatan, Senin (18/11/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sidarto menambahkan dalam mengembalikan kewibawaan MK banyak hal yang perlu diperbaiki seperti pengawasan dan syarat perekrutan hakim MK. Ia mencontohkan usia minimal seorang hakim MK adalah 60 tahun sehingga tak tergoda oleh hal-hal lain.
"Mengenai pengawasan, dulu ada UU Komisi Yudisial mengawasi MK. Lalu sampai di MK dibatalkan. Jadi MK itu pengadilan yang tadi ada lembaga pengawasnya. Jadi kayak setengah dewa. Lepas dari Perppu MK, memang kita merasa keprihatinan, siapa pun di republik ini memang diperlukan pengawasan eksternal," ujar Sidarto.
"Lalu, di luar negeri hakim-hakim di tingkat Mahkamah itu usianya di atas 60 tahun, yang sudah selesai dengan urusan keluarga. Kalau lagi senang-senangnya hidup, ingin ini dan itu, ya sifat 'manusianya' bisa keluar," kata Sidarto lebih lanjut.
Sidarto kemudian menyebutkan pendapat pribadinya tentang UU yang dipikirkan 560 anggota legislatif bisa dibatalkan oleh 6 orang. Ia menyarankan adanya legislatif review di samping judicial review di MK.
"Apakah tidak lebih baik dikembalikan ke dewan untuk diperbaiki? Tapi memang ini, dalam hati kecil saya, law yang dibuat 560 orang dihabisi 5 sampai 6 orang di MK, sisanya dissenting opinion," ujar Sidarto.
(vid/rmd)