Dalam pasal 102 UU 31 Tahun 2004 UU Perikanan disebutkan Ketentuan tentang pidana penjara dalam UU ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dalam pasal 5 ayat 1 huruf b (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah yang bersangkutan.
Namun ternyata pemerintah belum membuat perjanjian tersebut dengan negara tetangga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun dengan melihat formulasi tersebut, tidak menjadi alasan bagi proses penegakan hukum. Jika larangan penerapan pidana penjara dengan alasan ketentuan hukum internasional maka hukum nasional tetap harus mengikutinya apabila tidak ingin diasingkan dari pergaulan internasional.
"Akan tetapi efek penjeraan dapat dilakukan oleh penegak hukum terutama terkait dengan barang bukti berupa kapal dan alat tangkapnya," cetus hakim yang mengantongi sertifikat hakim perikanan tersebut.
Sehingga walaupun formulasi norma mengenai perampasan barang bukti hanya 'dapat', maka agar sejalan dengan maksud dan tujuan UU Perikanan dan Pengadilan Perikanan, seyogyanya dibaca sebagai keharusan. Pengadilan bisa merampas kapal dan alat tangkapnya untuk disita negara.
"Apabila itu dapat dilakukan maka 'Di Laut (hukum) Kita (tidak) Jaya' tanpa perlu kata yang ada di dalam kurung dibaca," ujar Guntoro.
Akibat aturan itu, saat ini pengadilan umumnya hanya menjatuhkan hukuman denda. Jika tidak mau membayar denda maka diganti dengan 6 bulan kurungan.
(asp/nrl)