Selain untuk mendulang suara, politisi pergi ke dukun untuk meningkatkan rasa percaya diri. “Ada yang nyekar, ada itu yang ke makam–makam, sebenarnya itu juga itu saya masih bisa terima. Tapi kalau yang sudah ketemu orang, dia sembur–semburkan kita pakai air pakai apa, mandi kembang, waduh, tapi mereka percaya, kita hormatilah, itulah kekayaan budaya kita,” kata Ruhut kepada detikcom, Rabu (13/11) kemarin.
Politisi Partai Demokrat ini bahkan menyebut praktik perdukunan adalah budaya masyarakat Indonesia. “Itu kan budaya kita ya, kita harus hormati juga orang yang percaya dengan hal–hal seperti itu,” kata Ruhut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Memang biayanya kalau saya tanya ke kawan saya, itu semua suka rela, gak dipatok. kadang – kadang orang itu karena prestasi dia, karena garis tangan, tapi karena dia percaya dia bisa kasih macam – macam, dia menganggap karena dukun itu padahal karena Tuhan,” kata Ruhut.
Ruhut menjelaskan terkadang memang ada perjanjian jika calon berhasil atau lolos maka sang dukun akan mendapatkan hadiah sebagai bentuk balas jasa. Namun tidak sedikit juga para calon yang telah berhasil menjabat lalu melupakan jasa dan peran dukun.
Ada juga seorang politisi yang rela membayar dukun ratusan juta hingga Rp 1 miliar setelah dia berhasil menduduki jabatan tertentu.
“Kalau awal–awalnya tidak dipatok. Karena percaya dengan itu, sama aja sebenarnya wujudnya manusia tapi ada yang percaya dengan batu cincin, dengan akar bahar, dan lainnya,” kata Ruhut.
Praktik penggunaan jasa dukun politik tidak hanya pada tingkat legislatif saja. Praktik yang sama juga terjadi untuk menduduki jabatan seperti lurah, camat, bupati, gubernur bahkan menteri. “Rata – rata kalau di Indonesia begitu (pakai dukun politik),” papar anggota Komisi III DPR RI ini.
(erd/erd)