Dubes: Kesalahmengertian Sebabkan Kemunduran Besar

Laporan dari Wina

Dubes: Kesalahmengertian Sebabkan Kemunduran Besar

- detikNews
Sabtu, 09 Nov 2013 14:11 WIB
dok.KBRI Wina
Wina - Kesalahmengertian atau kesalahpahaman adalah masalah umum yang dapat menyebabkan generalisasi atau stereotipe, dan dalam banyak kejadian telah menyebabkan kemunduran besar dalam hubungan antar masyarakat.

Hal itu disampaikan Duta Besar RI untuk Austria Rachmat Budiman pada acara peluncuran buku Religious Pluralism and Religious Freedom (Pluralisme Agama dan Kebebasan Beragama) di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Wina, Austria, baru-baru ini.

"Dan bahkan ketidaksadaran atau ketidaktahuan sedikit saja seringkali dapat memicu kesalahpahaman," ujar Dubes.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Oleh sebab itu, lanjut Dubes, dilakukan dialog antar-agama dan budaya antara Indonesia dan Austria sebagai upaya berkelanjutan untuk mempromosikan interaksi dengan tujuan utama membangun apresiasi dan pemahaman antara masyarakat kedua negara.

Menurut Dubes, adalah juga suatu kesalahpahaman umum di Eropa, misalnya, di mana Indonesia dianggap atau ditafsirkan sebagai negara Islam, karena fakta bahwa Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia.

"Meskipun fakta ini benar, tetapi Indonesia bukan negara Islam, melainkan negara demokratis. Indonesia bukan negara berdasarkan pada ideologi agama apa pun, juga tidak menganut ideologi sekuler yang sepenuhnya memisahkan agama dan negara," terang Dubes.

Hal lain yang mungkin masih kurang dikenal di Eropa, menurut Dubes adalah bahwa konstitusi Indonesia juga mengakui lima agama lainnya, yaitu: Katholik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu, yang semuanya telah hidup berdampingan dalam harmoni selama berabad-abad.

"Pemerintah Indonesia, seperti juga Austria, mendukung dan menjamin keberadaan dan kebebasan masing-masing umat beragama," imbuh Dubes.

Tantangan

Pada kesempatan itu Dubes juga menyampaikan bahwa seperti di negara-negara demokrasi lainnya, Indonesia juga menghadapi tantangan yang perlu diatasi berkaitan dengan kebebasan beragama.

"Ada beberapa kelompok kecil dan tidak banyak, yang disebut 'garis keras', yang sangat vokal dan mendapat liputan luas di media. Ini menunjukkan dengan jelas mengenai kebutuhan krusial untuk dialog di antara para pemangku kepentingan," tegas Dubes.

Dijelaskan, dialog antar-agama dan budaya antara Indonesia-Austria telah dilakukan empat kali, dan Indonesia menjadi tuan rumah dialog tahun ini. Para peserta dialog dari Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Buddha, telah menyatakan dukungan kuat untuk keterbukaan dan berbagi.

Namun demikian, lanjut Dubes, harus juga dengan bijak diakui bahwa ada beberapa bagian dari masyarakat, di Indonesia dan Austria, yang belum mau berbagi pandangan dan cenderung berpikiran tertutup terhadap budaya dialog konstruktif dan keterbukaan.

"Saya yakin bahwa kelompok ini juga harus diperhitungkan dan harus dilakukan upaya untuk memasukkan mereka dalam dialog-dialog mendatang," cetus Dubes.

Dubes berpendapat, bahwa hanya dengan menyatukan pandangan-pandangan berbeda dan melakukan upaya untuk mengatasi sentimen, dapat dibangun dialog sejati antar-agama dan budaya, yang akan membuahkan hasil bermanfaat dan langgeng.

Acara yang berlangsung di KBRI Wina, Kamis (31/10/2013) itu dihadiri para pejabat pemerintah Austria terutama dari Kemlu, para tokoh berbagai agama di Austria, akademisi, media massa setempat dan beberapa perwakilan masyarakat Indonesia. (es/es)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads