Koruptor Dapat Pensiun Akibat Akal-Akalan Busuk di DPR

Kontroversi Pensiunan DPR Narapidana

Koruptor Dapat Pensiun Akibat Akal-Akalan Busuk di DPR

- detikNews
Jumat, 08 Nov 2013 15:21 WIB
Suasana rapat paripurna di DPR. (foto:detikcom)
Jakarta - Sejumlah mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menyandang status terpidana masih dimungkinkan mendapat hak-hak keuangan, seperti pensiun dan gaji dari Negara. Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengatakan, fakta ini menunjukkan ada yang tidak beres dengan sistem administrasi di sekretariat DPR.

“Yang diatur dalam undang-undang pensiun itu adalah orang-orang yang tidak bermasalah selama periode, atau mengundurkan diri, atau pensiun dini tapi bukan karena korupsi. Kalau terlibat korupsi enggak bisa pakai mekanisme berhenti di tengah jalan dan tiba-tiba dapat hak pensiun,” kata Sebastian kepada detikcom, Kamis (7/11).

Perihal pensiun diatur dalam UU nomor 12 tahun 1980. Namun sejumlah politisi justru memanfaatkan kelonggaran dalam undang-undang tersebut, dengan mengundurkan diri secara terpaksa jika sudah terindikasi terlibat kasus hukum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kalau mereka berargumentasi mengajukan pensiun dini, berati koruptor ini melakukan dua kali kejahatan. Sudah korupsi, dia mengakali aturan yang ada untuk dapat fasilitas dari keuangan Negara,” kata dia.

Sebastian pun mendesak pimpinan DPR untuk mengambil tindakan tegas dengan memanggil sekretaris jenderal DPR. “Menurut saya itu akal-akalan busuk, kalau itu dibiarkan itu persekongkolan,” kata dia.

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Abdullah Dahlan juga curiga ada ‘main mata’ di Badan Kehormatan DPR. Sehingga BK tidak tegas memberikan sanksi bagi mereka yang tertangkap tangan dalam kasus korupsi.

“Bisa dipahami karena anggota BK sebagian dari perwakilan fraksi-fraksi, jadi ketika ada anggota fraksi yang terkait kasus di BK, akan muncul ketidaktegasan dan nuansa konflik kepentingan,” kata Abdullah.

Dia pun menuntut kinerja BK yang mandiri, objektif, dan independen berupa sanksi tegas untuk menghentikan hak sebagai anggota DPR termasuk soal gaji.

“Bukan hanya sanksi administrasi tapi juga pemberhentian tanggung jawab Negara untuk mereka termasuk gaji, apalagi soal pensiun. Begitu juga fasilitas rumah dinas yang biasanya masih melekat meski mereka sudah terjerat kasus hukum, ini harus diperketat,” kata Abdullah.

Sementara menurut Direktur Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, persoalan pensiun wakil rakyat itu lebih terkait dengan etika dan integritas pribadi anggota dewan.

Di negara maju, orang yang menjalani proses hukum terkait korupsi, tanpa diminta publik pun mereka sudah mundur. Sebaliknya di Indonesia , kesadaran pribadi dan etika itu tidak muncul.

“Jadi pendekatannya sangat legalistik formal, asas praduga tak bersalah harus dikedepankan dalam proses hukum, sehingga hak-haknya selama proses itu masih tetap harus dibayar,” kata Titi kepada Detikcom, Kamis (7/11).

Padahal, kata dia, mestinya selama proses hukum berlangsung, hak anggota DPR itu bisa dibekukan dulu. Jika kemudian tidak terbukti bersalah haknya diberikan tapi jika terbukti maka segala hak yang dibekukan itu tidak diterima.

Kenyataannya anggota DPR yang sudah berstatus terdakwa pun masih mendapat gaji dan fasilitas besar lain di parlemen. “Itu harus ditelusuri pertimbangan dan motifnya apa di balik itu, sebab itu menciderai rasa keadilan masyarakat,” kata dia.


Penghentian sementara hak-hak anggota DPR yang terjerat kasus, sangat mungkin direalisasikan. Namun diperlukan ketegasan BK dalam menjatuhkan sanksi bagi pelanggar hukum.


(erd/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads