“Jadi sangat tidak tepat dan enggak pantas Negara membayar gaji maupun uang pensiun kepada anggota DPR yang terkait kasus hukum,” kata Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Indonesian Corruption Watch Abdullah Dahlan kepada Detikcom, Rabu (6/11) lalu.
Dia beralasan, uang pensiun serta gaji pada dasarnya kompensasi yang diberikan bagi mereka yang mengabdi untuk Negara. Namun perbuatan korupsi adalah kejahatan sehingga pemberian hak pensiun harus dibatalkan. Mereka yang sudah jadi terpidana, selain melanggar kode etik juga mengingkari mandat sebagai wakil rakyat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, justru menjadi aneh jika Negara tetap membiayai dan menghidupi para koruptor dengan menggunakan uang rakyat. “(uang pensiun) itu patut dibatalkan jika mereka melakukan kejahatan terhadap Negara,” ujarnya.
Direktur Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, semestinya anggota DPR tidak perlu mendapat uang pensiun. “Saya tidak setuju diberikan kepada anggota DPR, bagaimanapun juga mereka kan mejalankan peran jadi wakil rakyat, enggak perlulah, sebab ini kan hanya jabatan politik,” kata dia kepada detikcom, Kamis (7/11).
Hal yang sama juga disampaikan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Dia menilai pemberian uang pensiun sangat mengejutkan dan menodai rasa keadilan masyarakat.
“Ada yang tak beres dengan pemberian hak itu, karena enggak seharusnya mereka mendapatkan hak pensiun itu sebab tindakannya sudah membuat kita dan kehormatan DPR rusak. Selain itu juga merugikan Negara dan merugikan rakyat,” kata Sebastian kepada Detikcom, Kamis (7/11).
Jumlah dana pensiun yang diberikan kepada anggota dewan bervariasi sesuai masa jabatannya. Dasar hukum pemberian pensiun bagi DPR diatur dalam UU nomor 12 tahun 1980 tentang hak keuangan/administrative Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi /Tinggi Negara serta BEkas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Dalam pasal 13 ayat 2 disebutkan, besarnya pensiun pokok per bulan adalah 1 persen dari dasar pensiun untuk tiap-tiap 1 bulan masa jabatan dengan ketentuan bahwa besarnya pensiun pokok sekurang-kurangnya 6 persen dan sebanyak-banyaknya 75 persen dari dasar pensiun.
Menurut Sebastian, Undang-undang tersebut sepantutnya diubah dan hak pensiun DPR dihilangkan. Pasalnya, jika dibandingkan dengan DPR yang menghabiskan masa produktifnya bekerja puluhan tahun untuk Negara, maka DPR dinilai tidak layak mendapat uang pensiun.
(erd/erd)