"Keresahan tentang rendahnya efek jera (korupsi) mulai coba dijawab dengan mengusungkan strategi pemiskinan koruptor. Konsep pemidanaan kasus korupsi digabungkan dengan upaya perampasan aset koruptor," ujar peneliti ICW, Donal Fariz, di kantornya, Jl Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Jumat (1/11/2013).
Namun, dalam tujuan pemiskinan koruptor, penerapan UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sejumlah penghadang ada di depan mata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, penggantian kerugian negara tidak maksimal. Hal ini berdasarkan pasal 18 ayat (1) huruf b UU Pemberantasan Korupsi. Di dalamnya disebutkan bahwa jumlah maksimum pembayaran uang pengganti adalah sebanyak yang dinikmati dari sebuah kasus korupsi.
"Terdapat celah hukum untuk tidak membayar uang pengganti. Jika tidak ditemukan kekayaan terpidana (bisa karena disembunyikan atau memang tidak ada lagi), maka kewajiban membayar uang pengganti bisa diganti dengan pidana kurungan," jelas Donal.
Hambatan terakhir adalah pembuktian yang dinilai sulit. Donal menerangkan perampasan atau pembayaran uang pengganti dari aset si terpidana korupsi hanya bisa dilakukan setelah korupsinya dinyatakan terbukti di pengadilan.
Hal ini dinilai sangat menghambat upaya pemberntasan korupsi terutama jika ditemukan aset lain dari si koruptor yang tidak diketahui secara persis asal-usulnya.
"Akan tetapi kekayaan tersebut sangat tidak sebanding jika melihat penghasilan yang sah. Apalagi, seringkali kasus-kasus suap atau korupsi sebelumnya tidak terungkap karena berbagai penyebab," imbuhnya.
(spt/lh)