Pemuda Kini Jangan Sontoloyo
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pemuda Kini Jangan Sontoloyo

Senin, 28 Okt 2013 15:11 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Den Haag - Berbicara pemuda, sejatinya berbicara tentang nilai-nilai pemuda, terlepas dari berapa usia biologisnya. Mengutip intisari β€˜Indonesia Merdeka’, sebuah mahakarya Bung Hatta, terdapat empat nilai pemuda yang dituliskan dalam dua bab awal buku dari pledoi beliau di pengadilan Den Haag pada tahun 1928 itu:Β β€˜keberanian (untuk merombak/revolusioner)’, β€˜kolektifitas-kesatuan’, β€˜moralitas’, dan β€˜politik’.

Keberanian untuk mendobrak, merombak, sudah sangat langka di negeri kita belakangan ini. Pemuda pada lini penyelenggara negara dan sebagian masyarakat yang terlanjur diuntungkan oleh kondisi kini cenderung memilih mempertahankan status quo, sementara pada lini rakyat luas juga kurang sadar untuk melakukan hal-hal revolusioner demi kepentingan lebih luas dalam entitas kebangsaan. Rindu rasanya, melihat Indonesia memiliki sosok berani sebagaimana para tokoh kemerdekaan kita dulu.

Bangsa Indonesia dikenal dengan semangat β€˜gotong-royong’, kolektifitas, Bung Hatta-pun menginisiasi koperasi dengan landasan ini. Sebagaimana pepatah, β€˜bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’. Pendiri negeri ini sangat sadar bahwa kebersamaan inilah yang akan menjadikan Indonesia jaya. Bukan egosentris sebagaimana juga telah dikritik Bung Hatta dalam bukunya β€˜Indonesia Merdeka’: perbedaan mendasar antara pemuda Belanda dan Indonesia adalah sikap sosial, Belanda dikenal individualis, Indonesia mengedepankan gotong-royong, kepentingan bersama. Namun kini nilai kolektifitas ini pudar menjadi cenderung individualis, berlomba-lomba mengejar dan mengutamakan kepentingan sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Moralitas juga kini semakin teretas. Para koruptor bisa tersenyum lebar setelah mendengarkan dakwaan hakim, seorang pejabat pemerintah membuat bingung rakyat dengan permainan kata, atau seorang penjual di pasar yang menyiasati timbangan. Padahal moralitas inilah yang menjadi kekuatan dalam membangun sebuah bangsa. Indonesia merdeka bukan karena kelompok inteleknya saja, melainkan karena para pejuang saat itu memiliki karakter, moralitas dan integritas kuat.

Politik seharusnya menjadi nilai yang melekat pada pemuda. Bung Hatta dalam pledoinya menekankan pentingnya pola pikir dan tindakan politik bagi pemuda. Politik dalam konteks memperjuangkan kedaulatan untuk kesejahteraan rakyat, bukan dalam arti sempit dan culas seperti perebutan kekuasaan dengan segala cara seperti dipertontonkan saat ini. Politik pemuda bukan dibangun oleh ketamakan menumpuk harta, melainkan ambisi untuk menjadikan rakyat berdiri tegak menatap masa depan.

Keempat nilai ini nampaknya kian surut dan hilang, menunggu hadirnya kembali pemuda Indonesia yangΒ dengan nilai-nilai luhurΒ mau memperjuangkan kedaulatan dan kepentingan rakyat. Hari ini, 28 Oktober 2013, kita bersyukur masih memperingati hari bersejarah bagi kebangkitan Indonesia. Namun, pertanyaan yang mestinya selalu terngiang adalah: setelah ini, lalu apa?

Saya ingin menutup catatan pendek ini dengan kembali mengutip pledoi Bung Hatta, "...mereka adalah putera Indonesia. Kepentingan Tanah Air mencekam dalam hati mereka. Mereka adalah pos terdepan dan barometer yang peka. Dan mereka terdorong untuk bertindak dan sadar bahwa hanya persatuan yang lebih eratlah yang akan dapat merebut kemenangan…"

Keterangan penulis:
Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik, tinggal di Den Haag.

(es/es)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads