Keberanian untuk mendobrak, merombak, sudah sangat langka di negeri kita belakangan ini. Pemuda pada lini penyelenggara negara dan sebagian masyarakat yang terlanjur diuntungkan oleh kondisi kini cenderung memilih mempertahankan status quo, sementara pada lini rakyat luas juga kurang sadar untuk melakukan hal-hal revolusioner demi kepentingan lebih luas dalam entitas kebangsaan. Rindu rasanya, melihat Indonesia memiliki sosok berani sebagaimana para tokoh kemerdekaan kita dulu.
Bangsa Indonesia dikenal dengan semangat βgotong-royongβ, kolektifitas, Bung Hatta-pun menginisiasi koperasi dengan landasan ini. Sebagaimana pepatah, βbersatu kita teguh, bercerai kita runtuhβ. Pendiri negeri ini sangat sadar bahwa kebersamaan inilah yang akan menjadikan Indonesia jaya. Bukan egosentris sebagaimana juga telah dikritik Bung Hatta dalam bukunya βIndonesia Merdekaβ: perbedaan mendasar antara pemuda Belanda dan Indonesia adalah sikap sosial, Belanda dikenal individualis, Indonesia mengedepankan gotong-royong, kepentingan bersama. Namun kini nilai kolektifitas ini pudar menjadi cenderung individualis, berlomba-lomba mengejar dan mengutamakan kepentingan sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Politik seharusnya menjadi nilai yang melekat pada pemuda. Bung Hatta dalam pledoinya menekankan pentingnya pola pikir dan tindakan politik bagi pemuda. Politik dalam konteks memperjuangkan kedaulatan untuk kesejahteraan rakyat, bukan dalam arti sempit dan culas seperti perebutan kekuasaan dengan segala cara seperti dipertontonkan saat ini. Politik pemuda bukan dibangun oleh ketamakan menumpuk harta, melainkan ambisi untuk menjadikan rakyat berdiri tegak menatap masa depan.
Keempat nilai ini nampaknya kian surut dan hilang, menunggu hadirnya kembali pemuda Indonesia yangΒ dengan nilai-nilai luhurΒ mau memperjuangkan kedaulatan dan kepentingan rakyat. Hari ini, 28 Oktober 2013, kita bersyukur masih memperingati hari bersejarah bagi kebangkitan Indonesia. Namun, pertanyaan yang mestinya selalu terngiang adalah: setelah ini, lalu apa?
Saya ingin menutup catatan pendek ini dengan kembali mengutip pledoi Bung Hatta, "...mereka adalah putera Indonesia. Kepentingan Tanah Air mencekam dalam hati mereka. Mereka adalah pos terdepan dan barometer yang peka. Dan mereka terdorong untuk bertindak dan sadar bahwa hanya persatuan yang lebih eratlah yang akan dapat merebut kemenanganβ¦"
Keterangan penulis:
Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik, tinggal di Den Haag.
(es/es)