Dalam kesaksiannya, LHI menyatakan bahwa Bunda Putri adalah orang yang memiliki kedekatan dengan sejumlah pejabat Istana, termasuk presiden SBY dan memiliki informasi penting seputar isu-isu reshufle kabinet. Setelah kesaksian LHI, berkembang berbagai rumor bahwa Bunda Putri disebut sebagai orang yang mampu mengatur para pejabat tinggi baik untuk pergantian jabatan maupun proyek-proyek besar dalam APBN.
Bahkan, sejumlah info yang berkembang juga menyebutkan bahwa peran sebagaimana makelar jabatan dan proyek itu telah digeluti oleh Bunda Putri sejak Orde Baru berkuasa. Sejak itu, beragam pemberitaan segera mengangkat isu seputar kedekatan Bunda Putri dengan berbagai pejabat, baik pada masa Orde Baru hingga mereka yang menjabat saat ini. Bahkan, sejumlah foto pun dipublikasikan guna menunjukan kekuatan relasi yang dimiliki Bunda Putri dan menambah efek dramatisasi dalam pemberitaan media massa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika melihat derasnya kesimpangsiuran informasi mengenai latar belakang sosok Bunda Putri, konteks relasinya dengan para pejabat maupun peranan yang selama ini dimainkan, sangat kuat kemungkinan bahwa ada kekuatan yang ikut mengeskalasi isu Bunda Putri untuk memainkan skenario politik tertentu. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa kemunculan kontroversi Bunda Putri berasal dari kesaksian LHI yang kemudian bak gayung bersambut segera dipropagandakan oleh para elit PKS.
Momentum itu kemudian ditangkap oleh dunia media sebagai isu hangat yang perlu direspon dalam kerangka mengejar rating media. Sedangkan para politisi lainnya, tentu akan sangat tergoda untuk menjadikan isu Bunda Putri sebagai komoditas politik, baik untuk propaganda menyudutkan kelompok lain maupun panggung membangun citra politik. Hal ini dapat dimaklumi mengingat tahun politik akan diwarnai dengan kerasnya kompetisi dan perang opini.
Namun sayangnya, jika fenomena itu tidak dikritisi justru akan mengalihkan persoalan utama yakni penegakan hukum kasus dugaan suap kuota impor daging sapi yang melibatkan LHI dan AF, serta dugaan kemungkinan adanya aktor lain di partai yang pernah dipimpin LHI. Dalam konteks hukum, penyebutan Bunda Putri yang diopinikan memiliki kedekatan dengan SBY belum dapat dipastikan kebenaran dan relevansinya dengan kasus yang menimpa mantan petinggi PKS dan sejumlah elit PKS yang sedang tersudut dengan kasus dugaan suap kuota impor daging sapi.
Logika hukum melihat pentingnya fakta-fakta yang dapat divalidasi secara empiris dan hubungan saling keterkaitannya dengan objek persoalan. Akan tetapi, eksploitasi isu Bunda Putri sebagai komoditas politik telah mengkonstruksi realitas sosial sedemikian rupa bahwa siapapun yang memiliki hubungan dengan Bunda Putri, baik para pejabat yang difoto bersama seseorang yang disebut Bunda Putri maupun SBY yang disebut LHI memiliki hubungan dekat, pasti memiliki potensi masalah yang sama sebagaimana yang menimpa LHI, AF dan kemungkinan aktor lain di PKS.
Konstruksi isu Bunda Putri yang kemudian hadir seolah membentuk realitas ini dapat dijelaskan dengan meminjam teori konstruksi sosial. Menurut Peter L Berger dan Thomas Luckmann dalam The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (1966), menjelaskan bahwa realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya.
Para politisi dan media massa telah menghadirkan simbol-simbol, sekaligus memberikan makna, dan mengisi setiap ruang publik secara masif dengan isu Bunda Putri sedemikian rupa sehingga seolah-olah merupakan realitas faktual yang mencerminkan keadaan sesungguhnya tanpa perlu divalidasi, dan jikapun divalidasi kebenarannya maka harus sesuai dengan opini yang telah diterima sebagai realitas sosial.
Pesan utamanya dalam framing yang digunakan untuk mengkonstruksi realitas adalah LHI dan AF dekat dengan Bunda Putri, Bunda Putri adalah makelar jabatan dan proyek, dan setiap yang dekat dengan Bunda Putri maka pasti bermasalah seperti LHI maupun AF. Dalam konteks tersebut maka sepertinya LHI dan para elit PKS melakukan taktik perlawanan bumi hangus โzero sum gameโ, dimana semua kekuatan politik ikut terseret bersama kasus yang mendera mereka. Hal inilah yang akan mengaburkan objektivasi proses hukum dan mengganggu proses penegakan hukum itu sendiri.
Dekonstruksi dan Fokus Pada Hukum
Habermas maupun Derrida telah mengkritis pendekatan konstruksivionis sebagai pembentuk realitas. Habermas (1972) maupun Derrida (1978) menawarkan gagasan dekonstruksi untuk mengkritisi konstruksi realitas sosial. Menurut mereka, interpretasi terhadap realitas selalu berkaitan dengan kepentingan.
Karena itu, isu Bunda Putri harus dilihat konteks kepentingan di balik kekuatan-kekuatan politik, termasuk media massa yang demikian masif pemberitaannya. Membaca kepentingan, maka akan terkait dengan peta kekuatan politik dan media dalam kontestasi menjelang Pemilu 2014. Karenanya, tidak ada pihak yang netral dan tanpa pretensi politik. Dalam konteks ini, kritisisme masyarakat untuk menggali makna di balik setiap isu menjadi sarana untuk mengetahui esensi dari perang opini saat ini sebagai manuver politik PKS, terutama melalui isu Bunda Putri.
Lipson (1996) dalam studinya tentang demokrasi menjelaskan bahwa politik merupakan arena pertarungan, dan demokrasi adalah mekanisme yang mewadahinya. Lanjutnya, demokrasi akan bekerja jika ada rule of law yang kuat dan ditaati bersama.
Merujuk pendapat tersebut, maka persoalan kontroversi Bunda Putri, peran dan hubungannya harus diletakan dalam konteks hukum hingga tidak berlarut-larut menjadi komoditas politik yang kontraproduktif. Jika memang ada bukti-bukti kuat dan relevan dengan kasus yang sedang diusut oleh KPK, terutama persoalan suap kuota impor daging sapi, aparat penegak hukum dapat menghadirkan dan memperjelas status hukum Bunda Putri. Langkah hukum itu penting untuk menguak siapa sebenarnya Bunda Putri dan apa perananya dengan masalah yang menyangkut LHI.
Langkah hukum ini penting mengingat eksploitasi isu Bunda Putri berpotensi mengkaburkan masalah hukum yang menimpa LHI dan AF, serta dapat menghentikan bola panas yang ditendang oleh para elit PKS untuk menyerang gawang politik kekuatan politik lainnya agar bernasib sama dengan gawang politiknya yang telah jebol. Selain itu, aparat penegak hukum bertanggungjawab untuk memastikan bahwa tidak ada siapapun di negeri ini yang memiliki privelege sehingga tidak dapat dijangkau oleh tangan penegak hukum. Konstitusi telah menegaskan bahwa setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan yang sama di muka hukum.
Oleh karena itu, demokratisasi yang sedang dibangun di Indonesia tidak boleh dicederai oleh ulah para makelar politik maupun proyek yang mengabaikan aturan hukum dan menciptakan kegaduhan politik. Sinergi aparat penegak hukum menjadi penting untuk segara mengungkap aktor-aktor yang terlibat dalam kasus dugaan suap kuota impor daging sapi. Mereka harus dapat fokus pada persoalan tanpa harus dibebani dengan tekanan opini dan kekuatan politik yang mencoba menciptakan kegaduhan politik untuk melindungi kepentingannya di tengah upaya menyongsong Pemilu 2014 yang harus dapat berjalan demokratis dan mampu menghadirkan kekuasaan pemerintahan baru sesuai dengan harapan rakyat.
*) Irfani Nurmaliah, penulis adalah peneliti muda di Forum Dialog (Fordial) dan pemerhati masalah politik. Tinggal di Jakarta.
(nwk/nwk)