Keresahan sosial yang lahir dari ketidakberesan mantan pimpinan MK ini akan berdampak sangat fatal. Rakyat menjadi kebingungan, ke mana lagi harus berkeluh atau mengadu jika ada persengketaan hukum yang perlu diputuskan? MK yang sedianya berperan sebagai sosok netral, mampu mengakomodasi semua pihak, dan bebas dari intervensi apa pun, ternyata juga bisa disuap. Rakyat yang biasa menjadikan keputusan MK sebagai keputusan akhir yang tidak bisa diganggu gugat, kini membuka kemungkinan bahwa MK bukanlah akhir dari perjuangan hak. Konflik sosial atas runtuhnya integritas MK bisa berkepanjangan. Para penggugat dan tergugat sengketa pilkada tentu akan resah dan kembali mempertanyakan legitimasi dari keputusan yang ada. Benteng hukum negeri ini pun akan goyah karena sang pengadil terlalu mudah tergoda harta dan narkoba.
MK sebagai lembaga yang lahir dari rahim reformasi bersama dengan KPK merupakan sebuah harapan baru bagi Indonesia untuk bisa menjalankan fungsinya sebagai penguji undang-undang. Bila merujuk pada Pasal 24c UUD 1945, MK juga memiliki kewenangan untuk membubarkan partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan bahkan menggelar pengadilan khusus bagi Presiden dan Wakil presiden bila mereka dinilai melanggar konstitusi. Besarnya wewenang MK ini sudah sepatutnya diisi oleh kepemimpinan yang berintegritas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lingkaran setan korupsi Indonesia memang sudah sampai pada taraf kronis. Bagaimana tidak, proses pemilihan hakim MK dilakukan oleh lembaga politik yang sangat erat dan mudah dipengaruhi oleh kepentingan politik. Di sinilah dilema kepentingan terjadi, hutang politik atas pemilihan hakim MK pun terjadi sejak awal para hakim ini dilantik. Dan sulit rasanya untuk berpikir positif bahwa tidak ada timbal balik atas segala transaksi politik. Fakta dari kasus Akil Mochtar tampaknya sudah menjelaskan dengan gamblang.
Lantas, apakah Akil Mochtar adalah pemain tunggal di MK? Melihat pola pengambilan keputusan di MK yang bersifat kolektif, sulit rasanya bila Akil Mochtar bermain sendiri. Dia sangat mungkin memerlukan dukungan dari rekan sesama hakim konstitusi untuk bisa memuluskan rencananya. Ada persekutuan. Namun siapa yang menjadi pelaku lain adalah tantangan bagi penyidikan KPK selanjutnya.
Pihak internal MK mencoba meyakinkan publik agar terus menjaga kepercayaannya pada MK. Para hakim konstitusi tersebut rapat maraton untuk mencari solusi paling bijak. Pembentukan Majelis Kehormatan merupakan salah satu langkah yang diambil. Namun saya melihat, MK seakan resisten dan menolak kritik dari rakyat sebagai pemilik dari konstitusi negeri ini. Perlu kiranya MK berpikir lebih tenang dan mencoba menerima masukan dari rakyat dengan jernih dan tanpa prasangka buruk.
Menariknya, Presiden SBY membuat sebuah drama penyelamatan MK tersendiri. Dia mengundang pimpinan lembaga tinggi lainnya dalam sebuah pertemuan, dan tidak mengundang satu-pun perwakilan dari MK, padahal kita mengetahui masih ada hakim lainnya di lembaga ini. Tak ayal, kebijakan Presiden ini menuai protes dari para hakim MK. Seakan-akan, ada upaya penyelamatan MK, dari MK sendiri dan Presiden, yang tidak berjalan dalam satu arah.
Presiden berencana membuat sebuah Perpu (peraturan pemerintah pengganti UU) yang memberikan kewenangan kepada dirinya untuk memecat Ketua MK dan juga melakukan pengawasan serta ‘tindakan lain bila diperlukan’. Perpu ini bila disahkan tentu akan jadi preseden buruk dalam tata kelola lembaga tinggi negara, seolah-olah Presiden yang paling bisa menyelesaikan semua polemik yang ada. Bila Perpu ini di sahkan, kekhawatiran saya adalah pola semacam ini pun bisa dilakukan Presiden terhadap lembaga tinggi lain seperti KPK, jika dinilai tidak sesuai oleh subjektivitas Presiden.
Efek berantai konflik sosial yang terjadi akibat penangkapan Akil Mochtar telah membuat rakyat Indonesia tidak percaya lagi pada hukum dan penegak hukum. Setelah rangkaian kasus korupsi di DPR, Kepolisian, Suap Jaksa, dan kini MK, rakyat kehilangan sosok patron hukum yang bisa dipercaya. Apabila hukum kehilangan legitimasinya maka kekacauan akan hadir berikutnya. Sebagai negara hukum, kehadiran pimpinan lembaga hukum yang kredibel adalah prasyarat utama, namun kini itu semua telah tiada.
Langkah darurat MK perlu segera dilangsungkan dan melibatkan semua lembaga tinggi negara. Beberapa catatan saran yang saya berikan antara lain; mendorong KPK untuk bisa menuntaskan segera kasus Akil Mochtar dan menuntut hukuman paling tinggi untuk dia, mendesak DPR dan Presiden untuk melakukan evaluasi terhadap hakim MK sekarang dan membentuk tim independen dalam pemilihan hakim dan Ketua MK ke depannya, menyusun UU yang dapat memberikan jaminan pengawasan akan MK agar kepercayaan rakyat bisa kembali pulih, dan yang terakhir tentunya kepada rakyat Indonesia agar tidak berputus-asa dalam menegakkan hukum di Indonesia.
Kasus Akil Mochtar adalah pengkhianatan besar terhadap amanat rakyat, dan perlu kiranya ada upaya upaya khusus untuk memulihkan runtuhnya dinding kepercayaan hukum Indonesia, agar rakyat memiliki tempat lagi untuk mengadu dalam mencari keadilan.
Keterangan penulis:
Pemerhati Sosial Politik, tinggal di Den Haag
(es/es)