"Membuat kebijakan tanpa terlebih dulu koordinasi dengan daerah, tanpa terlebih dulu melihat fakta kondisi infrastruktur di lapangan, tanpa dibarengi langkah antisipasi dari kebijakan yang diambil, saya kira adalah kebijakan asal-asalan yang sangat sembrono," ujar Rudy, kepada wartawan di Solo, Kamis (26/9/2013) petang.
Menurut Rudy, Pemerintah Pusat kurang memperhatikan dampak kebijakan tersebut. Diantaranya, akan terjadi ledakan kepemilikan mobil padahal tidak ada penambahan jalan sehingga akan menimbulkan kemacetan di semua daerah. Belum lagi dampak pemborosan anggaran akibat subsidi BBM, padahal selama Pemerintah sering mengeluhkan hal tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun menolak mobil murah ala LCGC, namun Rudy juga menampik jika sikapnya disebut kontradiktif dengan program Pemkot Surakarta melakukan produksi mobil Esemka yang sejak awal dipromosikan sebagai mobil murah. Rudy berdalih, Esemka adalah rakitan dalam negeri dengan 80 persen kandungan lokal.
Bahkan menurutnya, masih akan jauh lebih terhormat bagi Pemeritah jika mendorong dan mendukung penuh produksi mobil Esemka daripada mendukung LCGC. Karena sejak awal, spirit produksi Esemka adalah mempercepat proses transformasi pengetahuan bagi anak-anak bangsa untuk masa depan yang lebih mampu bersaing di kawasan regional maupun global.
"Harga yang ditetapkan Esemka memang masih lebih mahal dari program LCGC itu. LCGC itu hanya dengan uang muka Rp 10 juta, orang sudah bisa bawa pulang mobil sehingga kepadatan jalan semakin tak karuan. Tetapi, semurah-murah mobil LCGC, uangnya lari ke pabrikan luar negeri. Sedangkan semahal-mahal Esemka, 80 persennya kembali untuk bangsa kita sendiri," kata dia.
Rudy juga menegaskan, dia akan menghimbau pemilik-pemilik dealer mobil di Solo untuk tidak menjual mobil produk program LCGC tersebut. Dia berjanji akan melakukan pembenahan maksimal untuk kelancaran dan kenyamanan transportasi umum sebagai konsekuensi logis menolak mobil LCGC.
(mbr/mpr)