Yusril menggugat PP 99/2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP No 32/1999 tentang Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam PP tersebut, pemerintah memperketat pemberian remisi bagi terpidana terorisme, narkotika, korupsi, illegal logging dan kejahatan transnasional.
"Secara teknis perundang-undangan, keberadaan PP 99 sah menurut hukum. Materi PP sejalan dengan ketentuan pasal 12 UU No 12/2011 yaitu dalam rangka melaksakan UU No 22 tahun 1995," kata Gayus dalam diskusi tentang Grasi dan Remisi di kantor MA, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (25/9/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebab rumusan tambahan baru dalam PP hanya menekankan pentingnya pelaksanaan putusan hakim, khususnya pembayaran denda yang telah diputuskan oleh pengadilan," ucap Gayus.
Menurut guru besar ilmu hukum Universitas Krisnadwipayana itu, perlu ditekankan dari aspek filosofis maupun tujuan dan manfaat remisi. Maka seandainya narapidana mengganti denda dengan menjalankann putusan subsider penjara, maka hal itu tidak dibenarkan karena remisi tidak memberikan manfaat.
"Apabila remisi diberikan tanpa melakukan kewajiban untuk melaksanakan putusan hakim maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan menurunkan wibawa putusan pengadilan serta rasa keadilan masyarakat," cetusnya.
Mengenai persyaratan penandatanganan pernyataan bersedia menjadi justice collaborator untuk mendapatkan remisi, hal itu merupakan suatu pemikiran konstruksi positif. Bahkan Gayus menilai sebagai langkah progresif dalam hukum agar para napi memberikan kontribusi positif.
Menurut Gayus, PP tersebut sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat terhadap praktik korupsi dan tidak bertentangan dengn peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pembentukan peraturan dann prinsip perlindungan HAM.
"Aspirasi untuk merevisi adalah arus balik dari para pihak yang belum menyadari bahwa tindakan korupsi merupakan warisan baru kepada anak cucu bangsa serta secara langsung merugikan masyarakat," terang Gayus.
Pandangan ini bertolak belakang dengan Yusril. Dalam permohonannya, Yusril menganggap PP tersebut bertentangan dengan UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan, UU 39/1999 tentang HAM dan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Gugatan yang diajukan Yusril tengah diadili oleh majelis yang diketuai oleh Wakil Ketua MA M Saleh, Ketua Kamar Pidana Dr Artidjo Alkostar, hakim agung yang juga Ketua Kamar Tata Usaha Negara Dr Imam Soebchi, hakim agung Dr Supandi, dan hakim agung Yulius.
(asp/nrl)