"Tentunya polisi yang sekarang tidak terburu-buru menyimpulkan teroris. Kalau terburu-buru menyimpulkan, menurut saya, apa preman itu bukan teroris? Preman juga teroris loh, dia menculik dan meneror," ujar Ito saat berbincang dengan detikcom di RS Siloam, Semanggi, Jakarta Selatan, Kamis (19/9/2013).
Ito menyebutkan adanya fasilitas Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Polri harusnya dioptimalkan untuk mendeteksi ancaman-ancaman ketertiban dan keamanan masyarakat. Sehingga melalui perbaikan standar operasional prosedur (SOP), ancaman tersebut bisa diminimalisir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ito juga mengharapkan masyarakat mendukung Polri dalam menegakkan hukum baik dengan cara preventif maupun represif. Bentuk dukungan yang dimaksud seperti penggunaan senjata api.
"Tolonglah polisi diberi payung hukum yang kuat, janganlah polisi menembak dipermasalahkan, sementara anggota akan gamang. Anggota diberikan tugas menegakkan hukum dengan cara preventif dan represif. Represif itu kasih kewenangan pegang senjata, tapi kalau sudah pegang jangan asal tembak. Kalau ada asal tembak, hukum polisinya," ujar Ito.
Pria yang ditunjuk jadi Dubes Myanmar ini juga mengharapkan Polri merangkul penuh masyarakat agar optimal dalam menjaga stabilitas keamanan. Hal ini bisa memberikan dampak positif terhadap ancaman seperti penembakan anggota Polri beberapa waktu lalu.
"Jadi kita semua berkontribusi memberikan masukan kepada Polri supaya jangan terjadi lagi. Kita harus konsekuen melaksanakannya," ujar Ito.
Sementara itu terkait kasus penembakan terakhir yang menewaskan Aipda Sukardi saat tengah menjalan tugas pengawalan, Ito menilai hal itu tidak termasuk korupsi. Ia meyakini mengawal sebagai salah satu bentuk pelayanan polisi di samping tambahan yang ada.
"Dia itu sedang melayani, mengawal, lepas dari ada tambahan. Daripada korupsi mending ngawal-ngawal. Itu buat saya bukan korupsi, mungkin dengan upah minimum saja gaji polisi kurang, padahal ada risiko yang harus ditanggung," tutup Ito.
(vid/trq)