Prof. Dr. HM. Laicha Marzuki, SH yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dan hadir sebagai ahli menyatakan bahwa izin bioremediasi pada CPI tetap berlaku dan sah dalam masa perpanjangan izin ketika pihak pemberi izin tidak melakukan teguran dan larangan.
"Jika pihak pemberi izin tidak melakukan teguran dan larangan menandakan bahwa izin tersebut masih sah. Bahwa ketika sebuah institusi menugaskan pengawas dan ada laporan berkala yang diserahkan petugas lapangan maka pekerjaan tersebut tetap sah,” jelas Laicha, Rabu (18/9/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam sebuah perjanjian yang menentukan adalah si pemberi izin. Perbuatan hukum dalam hukum administrasi harus didukung dengan perizinan, apabila izin habis dilakukan perpanjangan yang dipandang sebagai kelanjutan hukum dari izin sebelumnya," ujar Laicha.
Keterangan ahli ini semakin menguatkan keterangan dari pejabat KLH dalam persidangan sebelumnya yang menjelaskan bahwa proyek bioremediasi CPI telah memiliki izin yang sah. Justru CPI diminta untuk segera melanjutkan proyek bioremediasi sehingga limbah yang harus dibersihkan bisa segera diselesaikan.
Surat Dinas MA Tak Bisa Batalkan Putusan Praperadilan
Sengkarut soal surat MA yang dipakai Kejagung untuk menyidik dan menuntut Bachtiar Abdul Fatah selaku GM SLS dalam sidang perkara proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia menemui titik terang. Abdul Fatah sebelumnya sudah dibebaskan dari status tersangka oleh pengadilan negeri Jakarta Selatan melalui putusan praperadilan.
Prof. Dr. HM. Laicha Marzuki, SH yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dan dihadirkan sebagai ahli sidang yang berlangsung hari ini Rabu (18/9) menyatakan bahwa putusan pra-peradilan bersifat tegas. Putusan administatif apapun tidak dapat mengesampingkan putusan peradilan.
“Putusan pra-peradilan bersifat tegas dan putusan administatif apapun tidak dapat mengesampingkan putusan peradilan,” ujar Laicha.
Ahli lain yang hadir dalam sidang hari ini adalah Prof. Dr. Edward Omar Syarif Hiariej, SH, Mhum., yang menjabat sebagai Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), juga menyatakan keterangan yang sama. Putusan pra-peradilan bersifat mengikat dan akhir.
“Putusan pra-peradilan sesungguhnya bersifat mengikat dan akhir. Putusan pra-peradilan seharusnya dihormati dan tidak bisa dibatalkan. Bila seseorang sudah diputus sah tidak sebagai tersangka lalu tiba-tiba diadili maka keputusan tersebut menunjukkan kesewenang-wenangan hukum,” tegas Edward dalam keterangannya di persidangan.
Seperti dalam awal persidangan terdakwa Bachtiar, penasehat hukum terdakwa yang dipimpin Maqdir Ismail mempertanyakan mengenai surat Mahkamah Agung yang dijadikan dasar oleh Kejagung untuk menahan dan menuntut kembali kliennya.
Bachtiar Abdul Fatah telah dibebaskan dari status sebagai tersangka dalam kasus bioremediasi ini oleh pengadilan negeri Jakarta Selatan dalam putusan praperadilan yang menyatakan bahwa penetapan tersangka tidak dibarengi dengan bukti permulaan yang cukup dan jaksa pun tidak dapat menunjukkan bukti di persidangan.
“Ternyata surat yang dimaksud oleh Kejagung hanya surat dinas biasa yang merespon kepada surat Kejagung yang dikirimkan kepada Badan Pengawas MA. Surat tersebut bukan berupa putusan MA dan tidak memiliki kekuatan hukum apalagi untuk membatalkan putusan praperadilan. Jadi ini benar-benar kesewenang-wenangan yang dilakukan penegak hukum dengan melanggar hukum,” ungkap Maqdir Ismail dalam wawancara beberapa waktu lalu.
(mpr/mpr)