Kabid Dokkes Polda Jateng, Kombes Musyafak mengatakan langkah tersebut diambil karena sesuai dengan standar operasional selama belum teridentifikasi. Lagipula sudah lebih dari 1,5 bulan 2 jenazah laki-laki itu disimpan di RS Bhayangkara Semarang.
"Karena sudah lebih dari 1,5 bulan, maka diputuskan dari penyidik dan Bid Dokkes dan pimpinan Polda Jateng dilakukan pemakaman," kata Musyafak di RS Bhayangkara Semarang, Rabu (18/9/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemakaman ini sesuai dengan umat mayoritas warga Indonesia yang menganut Islam, kami kafani, sembayangkan lalu kami kubur," ujarnya.
Nisan pada makam ditulis dengan MR X 1 dan MR X 2. Setelah dimakamkan, salah satu petugas membacakan doa.
Polisi tidak menutup posko Antemortem bagi warga yang merasa kehilangan anggota keluarganya dan memiliki ciri yang sama. Jika nantinya ada yang melapor, maka akan dilakukan pemeriksaan. Kalau perlu, dilakukan tes DNA.
"Pemakaman ini kami data, jadi kalau ada keluarga yang melapor dan mirip maka akan diperiksa DNA. Kalau cocok ya ditindak. Pemakaman ini bukan finish, tapi masih bisa ditindak lanjuti," pungkas Musyafak.
Kamis (25/7), Muhyaro tewas bersama perwira Polda Jateng, AKP Yahya, terjun ke jurang tidak jauh dari rumahnya di Dusun Petung, Desa Ngemplak, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang. Saat itu, Muhyaro digelandang untuk menunjukkan lokasi pemakaman korban-korbannya. Dua hari kemudian, polisi menemukan tiga jenazah di kebun milik Muhyaro. Salah satu jenazah adalah anak guru besar Undip, Yulanda Rifan, sedangkan 2 lainnya belum teridentifikasi karena sudah membusuk.
Di posko Antemortem RS Bhayangkara, polisi mendapatkan laporan dari warga yang menyatakan keluarganya yang bernama Sunaryo (39), warga Kroya Cilacap, dan Nurudin (49), warga Penggantan Temanggung. Menurut pihak keluarga mereka pamit hampir dua tahun lalu ke daerah Windusari Magelang. Namun setelah dilakukan tes DNA, ternyata jenazah tersebut bukan Sunaryo dan Nurudin.
(alg/try)