"Peningkatan pajak rokok dapat dipandang sebagai peningkatan perpajakan daerah. Meningkatkan kemampuan daerah dalam menyediakan pelayanan publik, khususnya pelayanan kesehatan," kata ahli yang dihadirkan pemerintah Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI), Prof Robert A Simanjuntak, dalam sidang di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (12/9/2013).
Menurut Robert, tak kurang dari 50 persen pendapatan dari pajak rokok digunakan untuk pelayanan kesehatan. Maka dapat dibayangkan berapa pendapatan daerah yang akan hilang jika pajak rokok tidak dapat dipungut awal tahun 2014 nanti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam hal ini, perokok tidak akan menempatkan rokok sebagai salah satu kebutuhan dan menyalurkan uang untuk membeli rokok kepada hal lain yang dapat meningkatkan kesejahteraannya. Harga rokok yang tinggi juga dapat digunakan untuk melindungi mereka yang belum terpapar rokok.
"Perokok harus dapat membayar harga yang mahal termasuk didalamnya cukai dan pajak yang tinggi bagi kompensasi dari dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan," jelas Robert dalam sidang yang dipimpin hakim yang sekaligus Ketua MK, Akil Muchtar.
Gugatan terhadap penerapan pajak ganda rokok ini dilayangkan oleh lima orang perokok, mereka adalah Mulyana W Kusumah, Hendardi, Aizuddin, Neta S Pane, dan Bambang Isti Nugroho. Mereka mengajukan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) karena soal pajak rokok telah diatur dalam UU No 11/1995 tentang Cukai.
Menurut pemohon, pasal 1 angka 19, pasal 2 ayat 1 huruf e, pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 94 ayat 1 huruf c, dan pasal 181 UU PDRD telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
(rna/asp)