Bersama dengan Marandus Sirait, penerima Kalpataru tahun 2005 itu juga mengembalikan penghargaan lingkungan hidup lainnya yang pernah diterima. Keduanya mengaku kecewa, hutan mereka rusak tanpa adanya respon dari pemerintah.
"Saya naik ke atas bukit dan berdoa 'Tuhan saya menyerah'," kisah Marandus saat bercerita di kantor KLH, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur, Kamis (5/9/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita tahu bahwa Tuhan lebih dulu menciptakan langit dan bumi di mana manusia diciptakan untuk menjaganya," kata Marandus.
Di kampungnya di sekitar hutan Toba, aparat kehutanan terlihat memiliki logistik yang mumpuni untuk mencegah terjadinya penebangan liar. Namun semua itu tidak pernah berhasil menjaga hutan.
"Polisi hutan senjata dan mereka punya kereta (motor) yang cepat. Tetapi masih lebih cepat lagi hasil penebangan itu sampai ke pasar," ujarnya.
Hasoloan yang mengembalikan piala Kalpatarunya mengatakan pengembalian tersebut sebagai bentuk kekesalannya terhadap pemerintah, terutama Kementerian Kehutanan. "Ini bentuk kritik kami kepada pemerintah," katanya.
Ancaman psikis dan fisik sudah seringkali didapatkannya dari pelaku penebang liar. Dikubur hidup dan merasakan timah peluru angin sudah menjadi bagian dari pengalaman hidup Hasoloan untuk menjaga tanah dan hutan milik leluhurnya.
"Tetapi saya tidak pernah menyerang mereka. Ketika bertemu, saya memberi mereka masukan," terangnya.
Meski tidak lagi menyimpan hadiah Kalpataru, Hasoloan tidak berhenti memperjuangkan tanah dan hutan Toba. Baginya, hutan seluas 32 ribu hektar itu adalah harta karun terbesar masyarakat Batak. Hasoloan secara tidak langsung menyinggung festival Danau Toba yang memiliki implikasi negatif terhadap lingkungan danau tersebut.
"Sebaiknya uangnya dikumpulkan untuk pelestarian lingkungan," ucapnya.
(fiq/mok)