Dalam beberapa hari lalu, koran terkemuka ibukota secara besar-besaran melakukan jajak pendapat dan memublikasikan tentang siapa yang kemungkinan dipercaya rakyat menjadi presiden RI pasca SBY. Sebagaimana jajak pendapat lainnya, nama Jokowi terus berkibar dan makin beroket saja. Meninggalkan semua calon lain, walaupun gubernur DKI itu belum menyatakan siap menjadi balon presiden.
Hebatnya lagi, koran tersebut (Kompas) telah selangkah lebih maju dengan memberikan alternatif siapa yang kemungkinan menjadi calon wakil jika Jokowi terpilih menjadi presiden ketujuh RI. Diperkirakan, digandengkan dengan siapapun Joko Widodo tetap memiliki kans yang besar. Pengamat mengatakan, masyarakat kita sudah sangat rindu pemimpin yang berkinerja, dan meninggalkan mereka yang lebih suka mengumbar janji dan pencitraan melalui berbagai media. Jokowi adalah simbol pemimpin yang mau bekerja dan mengerti rakyat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang menjadi masalah adalah apakah Jokowi benar-benar akan nyalon menjadi Presiden. Sampai saat ini, dengan segala kesantunan politiknya, Jokowi selalu mengatakan nasib dirinya tergantung Megawati, sang pemegang komando PDIP. Seolah, Jokowi pasrah dan tidak berambisi. Senyumnya yang sumringah susah jadi penanda apa yang bergejolak dalam jiwanya. Jokowi adalah orang Jawa sejati yang memiliki kemampuan menahan rasa suka maupun marah.
Sebenarnya, kalau saja Jokowi menyatakan nyalon presiden hari ini, maka dukungan yang diraupnya bisa jadi semakin besar. Bagaikan bola salju yang makin membesar saat menggelinding. Bila ia tetap berkinerja seperti saat ini dan tidak melakukan kesalahan fatal, sebenarnya masyarakat Indonesia sudah menentukan siapa pemimpinnya di tahun depan.
Namun ini bukan berarti bahwa Jokowi pasti jadi presiden. Ada beberapa faktor yang akan menentukan apakah pria asal Solo tersebut akan duduk dan tinggal di istana negara mulai Juli mendatang. Hal-hal tersebut sangat gamblang namun sedikit rumit dalam konstelasi politik.
Faktor pertama adalah urusan internal, yakni seberapa besar Megawati ikhlas melepaskan keinginanya untuk menjadi presiden lagi. Kalau mau melihat hasil banyak jajak pendapat yang terus dilakukan banyak pihak, sangat jelas bahwa kansnya untuk menang sangat tipis. Sehebat apapun PDIP mengusung Megawati, masyarakatlah yang akhirnya memutuskan siapa pemimpinnya. Dalam dunia persilatan politik Indonesia yang transparan ini, kelihatannya semakin sulit menolak hasil jajak pendapat yang dilakukan secara netral.
Jadi, faktor internal ini sebenarnya lebih merupakan urusan hati atau kalbu. Soal keikhlasan belaka. Pengakuan bahwa salah satu kader PDIP memiliki kans mengalahkan semua calon presiden, termasuk ketua umumnya sendiri. Sesuatu yang sangat berat dan tidak banyak berhubungan dengan organisasi. Ada pertarungan batin yang susah diungkapkan. Mungkin karena masalah ini, maka keputusan tentang pencapresan Jokowi terkesan diulur-ulur.
Beratnya lagi, melepaskan Jokowi menjadi presiden bisa jadi akan merubah harapan untuk mengorbitkan kader yang ada, termasuk mereka yang masih dalam lingkaran keluarga Soekarno atau Megawati. Ini berarti, Megawati mungkin harus melupakan politik partai keluarga, menjadi partai yang lebih terbuka dengan nilai-nilai yang lebih partisipatif.
Sebenarnya bukan hanya PDIP yang memiliki jiwa family party. Banyak partai politik sangat bergantung pada figur pendirinya. Lalu keluarga pendirilah yang seolah di-grooming menjadi salah satu pimpinan di kemudian hari. Hal yang demikian semestinya harus segera diakhiri karena mengelola partai tidaklah sama dengan mengelola perusahaan dimana sang pendiri adalah pemegang saham yang bisa mengangkat dan menyopot direktur. Begitu partai dibangun, maka sesungguhnya pemegang sahamnya adalah rakyat atau pemilih, sesuai dengan teori dalam demokrasi.
Di sisi lain, apabila Megawati enggan mencalonkan Jokowi dalam pilpres mendatang, maka PDIP telah menyia-nyiakan sebuah kesempatan emas yang belum tentu akan datang lagi. Sebab pencalonan Jokowi memiliki hubungan lurus dengan membesarkan partai: menempatkan kader di kursi presiden sekaligus menaikkan jumlah anggota PDIP di parlemen. Jangan lupa, Jokowi tetaplah manusia biasa. Bukan tidak mungkin Jokowi nantinya dibajak oleh partai lain dan malah sangat merugikan PDIP.
Faktor penentu kedua adalah permainan kotor yang mungkin dilakukan oleh lawan-lawan politik Jokowi. Dalam dunia politik, seringkali semua cara ditempuh untuk dapat melumpuhkan calon pemenang. Yang biasa digunakan adalah dengan melempar isu buruk atau black campaign yang dapat menurunkan kepercayaan publik melalui berbagai media, termasuk jejaring sosial. Namun, kalau ini yang dipakai, kemungkinan besar justru akan memperbesar dukungan terhadap Jokowi. Komunikasi massa Jokowi selama ini sangat baik dan ditunjang kinerja yang telah terbukti, sangat sulit untuk dihempaskan hanya dengan isu murahan.
Yang paling penting bagi Jokowi, seandainya diizinkan Megawati melaju di persaingan RI 1 adalah menjaga keselamatan dirinya. Meskipun Gubernur DKI itu selama ini merasa aman, blusukan ke daerah-daerah yang jarang dikunjungi pejabat sebelumnya serta makan apapun di segala tempat, pada galibnya kebiasaan tersebut harus terukur dan ada pihak-pihak yang ikut menjaganya.
Tim sukses capres Jokowi harus sadar sepenuhnya bahwa Jokowi adalah milik rakyat Indonesia sehingga tidak mungkin untuk melakukan kegiatan protokoler yang bersifat mengekang. Biarkan ia menjadi seperti biasanya dan tidak ada jarak dengan rakyat. Yang harus dilakukan untuk menyelamatkannya hanyalah dengan melakukan pengamanan yang manusiawi. Dan semua ini harus terkonsep dengan benar sehingga tidak merugikan pencalonannya.
Lalu bagaimana kalau seandainya Jokowi dikeroyok oleh semua partai politik? Hal ini hanya mengingatkan kita pada pemilu kada DKI dimana Jokowi memenanginya meskipun hanya didukung dua partai, yakni PDIP dan Gerindra. Bahkan perlu disadari bahwa saat ini, figur calon jauh lebih menjadi magnet pemilih dibandingkan partai pengusungnya. Tidak hanya itu, jajak pendapat Kompas juga menunjukkan adanya korelasi positif antara berkibarnya calon presiden dengan elektabilitas partai, bukan sebaliknya.
Bagi para pengamat internasional bisa jadi akan membangun teori konspirasi, seperti apabila Amerika Serikat tidak mendukung Jokowi. Dalam pandangan saya, hal itu hanya bisa berlaku sekiranya sang calon tidak kuat atau memiliki kekuatan yang berimbang dengan lawan. Sudah banyak contoh, keinginan negara adidaya tidak terwujud di negara lain karena memang mayoritas rakyatnya sudah menentukan pilihannya. Dalam hal ini berlaku konsep vox poluli vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Tak seorang pun bisa membendungnya.
Nah sebenarnya, saat ini yang diperlukan adalah sebuah ketegasan dari Megawati tentang masa depan Jokowi. Semakin cepat diputuskan maka semakin baik karena pemilu tinggal dalam hitungan bulan. Pencapresan Jokowi diperkirakan akan mengangkat elektabilitas partai yang berrti mendongkrak jumlah anggota parlemen dari PDIP. Semakin mengulur waktu, maka keuntungan yang diraup semakin kecil.
Bila saja, Jokowi direstui menjadi capres dari PDIP, maka pekerjaan berikutnya adalah mencari calon yang tepat dalam gaya kepemimpinan dan paling sedikit resistensi masyarakat. Soal ini tidak terlalu rumit, karena banyak anggota masyarakat yang bergurau dengan mengatakan: Jokowi disandingkan dengan bangku pun akan tetap menjadi presiden.
*Penulis adalah pengamat sosial dan dosen komunikasi Tanri Abeng University (TAU)
(nrl/nrl)