Kardus-kardus berisi perabotan dan kursi yang ditata seadanya terlihat di ruang tamu sebuah rumah bercat putih di ujung gang Mess Wiratno Semarang. Di balik pintu masuk, tersandar foto dengan figura besar bergambar wanita berkerudung putih dengan tulisan, Rustriningsih, Wakil Gubernur Jawa Tengah. Foto itu masih tergeletak di lantai, tersandar di dinding.
Dari dalam rumah, sosok yang ada di dalam foto itu datang menghampiri. Berkerudung hijau dan memakai blus abu-abu bercorak polkadot senada dengan kerudung, Rustriningsih menyapa detikcom yang sengaja datang berkunjung dengan ramah.
"Maaf, ini masih seperti ini. Belum selesai pindahannya," kata Rustri santun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keputusan Rustriningsih untuk tidak mengikuti konvensi calon presiden di Partai Demokrat, spontan diapresiasi sebagai bentuk loyalitas kepada PDIP, partai yang diperjuangkannya sejak 1996. Benarkah keputusan tidak mengikuti konvensi itu adalah bentuk loyalitas? Berikut cuplikan wawancara detikcom dengan mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih, di taman belakang rumah kontrakannya, Jumat (30/8/2013) malam:
Faktor politis apakah yang melatarbelakangi tidak mengikuti konvensi?
Begini, kehadiran saya dalam arena konvensi itu ada beberapa hal. Pertama, saya ingin menunjukkan pentingnya silaturahmi politik sebagai tradisi yang sangat baik. Kedua, saya harus mengapresiasi siapapun yang menghormati saya dengan mengundang. Namun untuk menjadi peserta konvensi, saya rasa memang banyak yang harus dipertimbangkan. Saat ini saya masih ingin konsentrasi di bidang sosial. Saya banyak belajar dari pak Habibie. Terlebih lagi saya masih ingin berkiprah di Jawa tengah.
Langkah itu dianggap sebagai bentuk loyalitas kepada PDIP. Menurut Bu rustriningsih, loyalitas itu seperti apa?
Loyalitas itu harus direpresentasikan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Harus terinternalisasi dalam perilaku sehari-hari. Dengan menjaga nama baik partai dan ketua umum. Misalnya perilaku tidak korupsi, tidak bertindak kriminal, menjujung tinggi sopan santun, termasuk gaya hidup yang di luar batas kewajaran, perilaku tidak santun yang mencederai rakyat. Jadi bagi saya loyalitas itu tidak semata-mata tunduk, menyerahkan jiwa raga, namun kepedulian untuk menjadikan yang kita loyali itu semakin eksis dan membesar, itu juga salah satu loyalitas.
Kehadiran dalam konvensi kan sebagai bentuk apresiasi dan silaturahmi politik, pesan apa yang ingin disampaikan?
Jadi begini, dalam kompleksitas persoalan berbangsa sekarang ini, rekonsiliasi semua potensi sangat penting. Ini harus dijadikan tradisi bagi semua politisi dan partai politik. Itu jika benar-benar memikirkan bangsa dan Negara. Jika berpartai memang untuk bangsa dan Negara, bukan untuk ambisi pribadi.
Selain itu, mekanisme penjaringan calon presiden itu merupakan salah satu alternatif untuk mendapatkan pemimpin yang dikehendaki rakyat. Saya pikir partai politik perlu juga memikirkan mekanisme alternatif selain konvensi dalam mencari calon pemimpin yang dikehendaki rakyat.
Respon Sahabat Rustri (pendukung) di lapangan gimana Bu?
Ada tiga kategori. Pertama yang berterima kasih dan berharap saya tetap bertahan di PDIP. Kedua, yang percaya penuh kepada saya dan menyatakan mendukung apapun langkah yang saya lakukan, karena pasti sudah melalui pertimbangan masak. Dan ketiga, ada juga yang mendorong saya untuk maju terus, karena mereka yakin kalau saya tetap di PDIP saya tetap dihabisi. Jadi responnya ada tiga itu.
Permasalahan urgent apa yang terjadi dalam partai politik sehingga ada yang merasa perlu menyelenggarakan konvensi, ada yang cukup menyerahkan kepada ketua umum, dan mekanisme lain?
Saya melihat ada masalah manajemen keuangan partai-partai. Selama ini operasional semua partai lebih banyak dibeayai kader-kader partai yang sudah mendapat jabatan politis ataupun jabatan publik. Nah, saat hendak merealisasikan agenda partai, biasanya disusun anggaran dan besaran anggaran itu yang disosialisasikan kemudian didistribusikan menjadi tanggungjawab kader. Ketua umum partai-partai tidak ambil pusing darimana kader itu mendapatkan uang.
Ketika dana itu bermasalah, partai yang menerima dana itu tidak terkena sanksi apapun. Pertanyaannya, ketika ada sumbangan kader, kenapa di internal partai politik tidak diverifikasi asal muasal dana tersebut. Benarkah yang disumbangkan uang halal?
Coba kalau logikanya dibalik. Dirembug dulu potensi penggalian dana halal ada berapa. Nah, dari potensi itu, baru dirancang kegiatan partai menyesuaikan kemampuan keuangannya. Jadi tidak ada pemaksaan. Tidak ada kader partai yang memaksakan diri setor sambil diam-diam ikut menikmati.
Ini harus dipotong. Caranya, dengan menciptakan mekanisme verifikasi asal muasal dana yang disumbangkan ke partai. Jika partai kedapatan menerima aliran dana haram, partai itu juga harus dikenai sanksi. Monggo ahli-ahli hukum yang bisa merumuskan itu. Karena efeknya sangat luar biasa, dimana legislatif yang punya fungsi kontrol akhirnya hanya main mata saja, karena mereka sudah tersandera perilaku tersebut.
(alg/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini