Memang selama ini dia belum 'tergiur' rayuan si tenaga pemasaran tersebut. Tapi ia menyesalkan data-data pribadinya bisa dengan mudah dibocorkan oleh oknum perbankan. Dia khawatir data tersebut dimanfaatkan pihak lain untuk tindak kejahatan terselubung.
“Takutnya kita jadi di pakai untuk tempat pencucian uang juga,” kata Meir kepada detikcom, Kamis (22/8) lalu. Dia mengisahkan, salah satu temannya pernah tiba-tiba mendapat uang puluhan juta di rekening pribadinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun tak jelas identitas pengirim uang tersebut. “Akhirnya ditanya ke call center bank tersebut, kalau enggak salah satu jam kemudian duitnya langsung lenyap, jadi ada 'money laundry',” kisah Meir.
Maringan Harianja, 25 tahun, juga tak terima nomor telepon dan data pribadinya disebarluaskan. Dia menyayangkan perusahaan penyedia kartu kredit yang tidak bisa menjamin kerahasiaan data nasabah.
“Ini merugikan nasabah, berarti informasi pribadi kita kan enggak aman,” kata karyawati yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat ini. Apalagi selama ini tenaga pemasaran sering terkesan memaksa calon nasabah. Misalnya seorang nasabah yang tidak mengerti, tetap ditawarin produk yang dia sendiri tidak tahu.
Namun dengan hanya melalui pertanyaan lisan, tanpa tanda tangan, calon nasabah dianggap setuju sehingga akan dibebankan biaya tahunan kartu kredit tersebut. Dia berharap agar aksi jual beli data pribadi ini bisa diungkap.
Githa, 31 tahun pun menilai persoalan penyebaran data pribadi sangat merugikan konsumen. Padahal sebagai nasabah, ia berharap data-data pribadi yang ia berikan ke perbankan bisa dijamin keamanannya, bukannya beredar sembarangan.
Dia berharap Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan perbankan bisa bertindak tegas untuk menertibkan penyebaran data pribadi nasabah. “Kami kan sudah percayakan data kami di mereka, ada klausulnya lagi,” kata Githa.
Direktur Departemen Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat Bank Indonesia, Difi A. Johansyah mengakui banyak data nasabah yang beredar dan diperjual belikan. Dia mengakui peredaran database nasabah tersebut sulit ditertibkan.
Menurut dia pelaku penyebaran data biasanya adalah pihak ketiga, yang umumnya di luar perbankan. Mereka terlibat kerjasama dengan perbankan untuk menggaet nasabah.
Bank Sentral menurut Difi tidak memiliki kewenangan mengatur keberadaan pihak ketiga tersebut. “Kami tidak mungkin masuk ke wilayah operasional perbankan, masing-masing bank punya kebijakan sendiri-sendiri,” kata dia kepada detikcom, Jumat (23/8) lalu.
Difi menjamin perbankan tidak akan membocorkan data nasabah karena ada Peraturan Bank Indonesia yang melarang. Termasuk kemungkinan adanya oknum marketing yang membagi data ke marketing bank lain.
“Sepanjang masih di linkungan banknya sendiri, bisa dijamin, bahwa itu hanya sampai keperluan untuk aplikasi di bank tersebut, tapi kalau sudah sampai di luar perbankan, seperti kartu kredit di mall-mall, itu yang disalah gunakan,” kata dia.
Terkait maraknya penjualan database sudah banyak yang dilakukan terang-terangan seperti di situs-situs internet, Difi mengatakan hal itu di luar wewenang Bank Indonesia.
“Bukan diperbolehkan, sekarang siapa yang atur itu, masa harus BI yang atur? Yang punya wewenang terkait data-data dan informasi yang ada di komputer itu Kementerian Informasi,” kata Difi.
(erd/erd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini