"Sesuai ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dilakukan oleh Terpidana atau ahli warisnya," kata hakim ad hoc tipikor MA, Prof Dr Krisna Harahap kepada detikcom, Senin (26/8/2013).
Kehadiran terpidana diharuskan oleh ketentuan Pasal 265 ayat (2) dan (3) KUHAP yang bersama-sama dengan hakim, jaksa dan terpidana diharuskan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. Sedang terpidana sendiri diberi kesempatan menggunakan haknya untuk mengeluarkan pendapat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, menurut Krisna, pengajauan PK dari tempat pelarian dapat dihindari seminimal mungkin. Seandainya ketentuan ini dipegang teguh tentu Sudjiono Timan hanya dapat mengajukan PK sambil menjalani hukuman 15 tahun seperti yang dijatuhkan oleh majelis kasasi.
"Kemungkinan ini pun sejak tahun 1984 telah diendus oleh Ketua Muda MA Andi Andoyo yang menegaskan bahwa kehadiran pemohon dan jaksa adalah suatu keharusan," terang mantan Pemimpin Redaksi (Pemred) Harian Mandala.
Adanya pendapat mendua di MA, mengingatkan masyarakat pengajuan PK dari tempat pelarian di luar negeri. Yaitu koruptor Djoko Tjandra dan pembabat habis hutan di Mandailing Natal, Adelin Lis.
"Apabila PK ditolak mereka akan terus dapat menikmati hasil jarahannya di luar negeri," ujar Krisna.
Timan mengkorupsi uang negara di BUMN PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar Rp 120 miliar dan USD 98,7 juta.
Timan dilepaskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 2002 lalu. Lantas jaksa kasasi dan dikabulkan MA. Pada 3 Desember 2004 MA mengganjar Timan dengan hukuman 15 tahun penjara dan membayar uang pengganti ke negara Rp 369 miliar. Di tingkat PK, Timan kembali lepas.
"Sudjiono Timan dapat kembali ke Indonesia dengan santai dan mungkin dielu-elukan bagai pahlawan," pungkas Krisna.
(asp/rmd)