Ini Jejak Uang ke DPR untuk Muluskan Anggaran Proyek Hambalang

Ini Jejak Uang ke DPR untuk Muluskan Anggaran Proyek Hambalang

- detikNews
Sabtu, 24 Agu 2013 13:30 WIB
Ini Jejak Uang ke DPR untuk Muluskan Anggaran Proyek Hambalang
Jakarta - Tak ada yang gratis, termasuk untuk persetujuan kucuran dana anggaran proyek Hambalang dari DPR. Dalam dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terpapar adanya aliran dana ke DPR untuk 'memudahkan' persetujuan anggaran proyek.

Dalam dokumen audit yang dilihat detikcom, Sabtu (24/8/2013), semuanya berawal dari 2010. Saat itu Kemenpora tengah memperjuangkan pembangunan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang.

Memang di kesimpulan audit, seperti disebut anggota BPK Ali Masykur Musa pada Jumat (23/8) ada penyalahgunaan wewenang dari DPR dengan menyalahi tata tertib yang berlaku.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bentuk penyalahgunaan itu selain soal teknis, ada juga soal yang lain. Dalam audit itu tertulis aliran uang untuk oknum-oknum di Komisi X DPR.

"Ada pengeluaran uang sebesar Rp 50 juta dari Kemenpora, untuk membiayai makan dan ruang sidang dan/atau RDP dengan Komisi X di Hotel Century pada tanggal 2 Mei 2010," tulis dokumen itu.

Tak berhenti di angka Rp 50 juta saja. Dokumen audit BPK menyebut adanya aliran uang dari perusahaan BUMN PT AK diduga Adhi Karya, yang dijanjikan akan memenangkan tender proyek Hambalang, untuk DPR.

PT AK ini, diminta bantuan mengurusi dan membantu urusan anggaran di DPR. Dalam audit disebutkan inisial TBMN, diduga kuat Teuku Bagus Muhammad Noor yang sudah menjadi tersangka KPK, yang bertemu dengan WM diduga Wafid Muharam dari Kemenpora. TBMN dalam ativitas melobi memakai seseorang berinisial MA.

"MA mengakui pada 27 April 2010 menandatangani kuitansi Rp 2 miliar dari PT AK kepada pihak Kemenpora terkait dengan urusan pihak DPR. Uang itu untuk keperluan anggota Komisi X DPR," tulis dokumen itu.

Uang dialirkan untuk penambahan anggaran proyek Hambalang Rp 150 miliar di APBN Perubahan 2010. Setelah uang Rp 2 miliar, ada lagi uang selanjutnya yang mengalir.

"Pada 28 April 2010 MA mengakui menerima uang Rp 1,3 miliar yang disimpan dan tas tenteng warna hitam dari PT AK. Uang yang kemarin untuk anggota DPR masih kurang," tulis dokumen itu.

Dalam dokumen kuitansi tertulis uang untuk K-10, tapi MA tak tahu untuk siapa anggota dewan tersebut. Dalam audit BPK itu, Wafid mengaku tak tahu soal uang itu. Dia menyebut mungkin saja uang itu kesepakatan MA dan PT AK untuk meyakinkan anggaran disetujui DPR.

Tak hanya untuk anggaran 2010. Untuk anggaran proyek Hambalang 2011 juga disebutkan dalam audit, ada aliran dana ke DPR guna memuluskan proses anggaran. Dana masih dari PT AK.

Dituliskan di dokumen ada uang senilai Rp 4 miliar dalam bentuk dolar AS yang diberikan untuk seseorang di DPR. Uang itu diberikan dalam dua tahap. Masing-masing disimpan dalam amplop cokelat. Uang diserahkan lewat Kemenpora.

MA mengaku menyerahkan uang itu kepada Po, staf Wafid Muharam. Permintaan uang itu disebutkan untuk melengkapi kekurangan tetangga atau DPR. Namun dalam pemeriksaan tim audit, Wafid dan Po tak mengaku ada penyerahan uang Rp 4 miliar. Apakah uang itu sampai atau tidak ke DPR tak disebutkan jelas di audit itu.

Tak hanya PT AK, dalam audit itu juga disebutkan adanya PT Permai Grup milik Nazaruddin yang ikut melobi di DPR. Tapi belakangan, Permai meminta uangnya kembali ke Sesmenpora Wafid

"Dalam pembukuan Permai Grup uang Rp 10 miliar diterima kembali pada tanggal 6,12, dan 13 Januari," tulis dokumen itu.

Soal audit Hambalang yang menyebut adanya dugaan penyimpangan di DPR ini, Wakil Ketua Komisi X Rully Chairul Azwar menegaskan sepenuhnya semua tanggung jawab ramai-ramai.

"Ya itu tadi mungkin ada perbedaan persepsi, mereka menganggap kalau ada surat pengantar atau persetujuan rincian anggaran, itu yang tanda tangan yang tanggung jawab sendiri. Itu kan tanggung jawab rame-rame," ujar Rully usai menjalani pemeriksaan di KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (23/8).

Menurut Rully, sistem yang ada di DPR itu collective kollegial. Sehingga semua keputusan yang dihasilkan menjadi tanggung jawab bersama semua anggota komisi.

"Yang namanya DPR ini bukan birokrat, jadi yang namanya surat pengantar, yang namanya notulen rapat itu bukan otorisasi karena itu namanya speaker. Speaker yang namanya pimpinan komisi," jelas Rully.

(ndr/van)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads