Seperti diamanatkan dalam Pasal 278 ayat (3) UU No. 17 tahun 2008 yang menyatakan bahwa : "Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan penjaga laut dan pantai diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)". Dan sesuai perintah Pasal 352 UU No. 17 tahun 2008 menyatakan bahwa: "PP Penjagaan Laut dan Pantai harus sudah terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU ini berlaku." Artinya, harus sudah ada pada tanggal 7 Mei 2011.
Namun apa yang terjadi ? Sampai hari ini ternyata belum jelas kapan PP tentang Penjagaan Laut dan Pantai akan muncul. Apakah sudah dibuat oleh Kementerian Perhubungan ? Draf RPP sudah dibuat oleh Kementerian Perhubungan dan sudah diedarkan, bahkan dengan terpaksa juga sudah disepakati oleh Kementerian terkait. Namun Menko Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) mengambil alih dan menunda penetapan PP Penjagaan Laut dan Pantai dengan alasan isi RPP masih berbenturan dengan berbagai peraturan perudang-undangan lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Permasalahan Dasar
Berdasarkan Pasal 277 ayat (2), Penjaga Laut dan Pantai menjalankan fungsi koordinasi terhadap penegakan peraturan perundang-undangan, seperti merumuskan dan menetapkan kebijakan umum penegakan hukum laut. Kemudian menyusun kebijakan dan standar prosedur operasi penegakan hukum di laut secara terpadu. Tugas instansi Penjagaan Laut dan Pantai juga menjalankan fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran.
Selain itu beberapa tugas lain yang selama ini dilakukan oleh instansi lain, seperti melakukan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum, pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat serta Pemerintah di wilayah perairan Indonesia sesuai dengan UU No. 17 tahun 2007 akan berada di bawah kewenangan Menteri Perhubungan. Dan untuk sebagian instansi ini mala petaka besar.
Permasalahan di tingkat pelaksanaan muncul setelah banyak pihak merasa kewenangan/kekuasaannya sebagai 'Raja Laut' akan dikebiri oleh Kementerian Perhubungan jika RPP Penjagan Laut dan Pantai jadi dieksekusi. Mereka beranggapan bahwa keberadaan PP Penjagaan Laut dan Pantai akan memberangus banyak kewenangan yang masing-masing kewenangan ini juga berlindung di masing-masing UU terkait, seperti Imigrasi, TNI AL, Polairud, Bakorkamla dan sebagainya.
Meskipun beberapa para pihak terkait yang dihubungi pada awalnya akhirnya menyetujui isi RPP (dengan menandatangani draft PP Penjagaan Laut dan Pantai), namun tampaknya Menko Polhukam berpikir lain. Untuk mengantisipasi bibit-bibit pertikaian di kemudian hari jika PP ini diberlakukan, maka Menko Polhukam telah mengeluarkan Surat No. B. 15/Menko/Polhukam/04/2011 tanggal 12 April 2011 yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara.
Isi Surat Menko Polhukam intinya menyatakan keberatan dengan Pasal-Pasal di dalam draft RPP tentang Penjagaan Laut dan Pantai, dan Menko Polhukam tidak dapat menerima bila Panglima TNI dan Kapolri berada di bawah koordinasi Menteri Perhubungan, sesuai dengan UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Maka RPP Penjagan Laut dan Pantai buatan Kementerian Perhubungan dibekukan untuk sementara.
Untuk itu berdasarkan pembicaraan kami dengan Menko Polhukam beberapa waktu yang lalu, PP Penjagaan Laut dan Pantai akan diganti dengan PP Keselamatan Pelayaran. Alasan Menko Polhukam mengubah judul PP adalah supaya sesuai dengan domain Kementerian Perhubungan, yaitu keselamatan pelayaran. Persoalannya kapan akan selesai dan disahkan, supaya industri pelayaran mempunyai kepastian hukum ? Menko Polhukam berjanji akan menyelesaikannya sebelum akhir tahun 2013.
Dari sisi industri pelayaran, ketiadaan hukum yang mengatur siapa berwenang apa di laut merupakan sisi gelap industri pelayaran nasional. Ketiadaan aturan yang jelas menimbulkan ekonomi biaya tinggi di pelayaran nasional, karena semua pihak mengaku 'Raja Laut' yang berkuasa di laut dan berwenang menghentikan kapal niaga milik siapa pun, meskipun sudah diizinkan berlayar oleh Syahbandar. Judul PP tidak menjadi masalah bagi dunia industri pelayaran niaga Indonesia. Yang penting ada kepastian hukum.
Upaya penghentian oleh para 'Raja Laut' berujung pada munculnya ekonomi biaya tinggi karena patut diduga penghentian kapal di tengah laut lebih pada upaya memungut retribusi laut (pajak hantu laut), daripada upaya pemeriksaan barang demi keamanan dan keselamatan pelayaran. Pajak hantu laut ini jumlahnya fantastis dan siapa yang menanggung? Tentunya pemilik barang dan ujung-ujungnya juga konsumen.
Belum lagi jika terjadi kecelakan di laut, seperti ketika terjadi tabrakan KM Bahuga Jaya dengan Norgas di Selat Sunda tahun lalu. Sering pengacara pemilik kapal asing menanyakan aturan hukum terkait Sea and Coast Guard ini. Sangat memalukan ketika kita harus bilang bahwa Indonesia belum punya.
Jalan Keluar
Untuk membuat industri pelayaran nasional Berjaya di perairan Indonesia dan dapat dijalankannya UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, segera terbitkan PP tentang Pengawasan Laut dan Pantai atau apa pun namanya sesuai perintah UU tersebut. Siapa pun 'Raja Laut' tidak menjadi persoalan untuk industri pelayaran niaga.
Industri pelayaran niaga menginginkan hanya ada satu institusi saja yang berwenang untuk melakukan tindakan di laut. Jangan semua institusi merasa berhak menjadi Raja Laut dan memalak awak kapal, layaknya preman Tanah Abang. Semua perlu kepastian hukum di laut.
Besar harapan saya, Menko Polhukam harus segera melaksanakan perintah UU No. 17 tahun 2008 Pasal 278 ayat (3) karena sudah tertunda selama 2 tahun lebih dan sebaiknya Menko Polhukam tidak memberi contoh ke publik adanya pembiaran hukum yang dilakukan oleh Pemerintah.
*) Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik
(nwk/nrl)