Sementara itu, hanya 22,12 persen yang menginginkan perayaan hari besar secara tidak serentak. Sisanya, 3,1 persen yang menjawab tidak tahu.
Survei LSI tersebut dilakukan melalui quick poll pada 13-14 Agustus 2013. Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan 1200 responden dan margin of error sebesar +/- 2,9 persen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selain itu, publik luas juga harus terus menerus mendorong pimpinan ormas atau ulama atau ilmuwan masing-masing untuk menyatukan parameter," imbuh Rully.
Dalam kesempatan itu, Rully juga menyarankan agar sidang isbat tak perlu dilakukan pemerintah. Sebaiknya, penentuan awal puasa dan hari lebaran diserahkan ke masyarakat.
"Sidang isbat sebaiknya dilakukan organ masyarakat sendiri. Karena dari masyarakat, untuk masyarakat, tanpa dana APBN," ujarnya.
Selain itu, dari hasil survei terlihat juga bahwa 54,47 persen masyarakat Indonesia lebih menyukai penentuan awal puasa dan lebaran pada zaman orde baru atau pemerintahan era Soeharto. Sedangkan 31,06 persen masyarakat memilih orde lama atau pada era Soekarno.
(spt/mad)