Bagi Arman politik tidak ada matinya untuk disurvei. Biasanya setahun sebelumnya jadi waktu yang pas untuk survei. "Nah, ini pasti meningkat terutama legislatif yang banyak daerah pemilihan,” kata Arman kepada detikcom, Rabu (14/8).
Dia menjelaskan pemberi order memang biasanya yang menentukan isu untuk digarap menjadi survei. Soal hasil survei bagaimana, LSI menyerahkan sepenuhnya kepada pemberi order dan mengaku tidak akan diintervensi. Arman mengklaim, yang pasti LSI profesional memberikan survei berkualitas dengan mengedepankan kecilnya angka margin error. “Survei ini kan buat potret dia sebelum maju. Meski bukan jaminan,” ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, untuk survei nasional yang memerlukan responden dari 33 provinsi, tentu daerah Indonesia bagian Timur juga perlu disertakan. Pengalaman yang dilakukan LSI, bujet untuk membuktikan survei di daerah seperti Papua atau Kalimantan memerlukan sedikitnya Rp 400 juta. Meski misalnya dalam satu provinsi hanya mengejar 10 responden.
“Ya itu, mau enggak mau kita harus terbang. Ya memang mahal karena kondisinya seperti itu. Sekali terbang misalnya dari Raja Ampat ke Nabire itu sedikitnya perlu Rp 12 juta,” ungkapnya.
Disinggung hasil survei bisa menggiring opini publik, ia tidak menampiknya. Menurutnya, masyarakat sebagian masih awam dengan politik seperti di daerah-daerah tertentu tergantung usia dan pekerjaan.
Namun, untuk sekarang persoalan menggiring opini publik hanya kecil. Pasalnya, kata Arman, masyarakat sudah semakin kritis dan tidak mudah percaya dengan hasil survei. Pertama survei yang disajikan menampilkan tokoh-tokoh itu saja dalam pemilu presiden.

Peneliti senior LSI, Toto Izzul Fatah, menyebutkan lembaganya memiliki dua divisi yang memang fokusnya sesuai fungsi masing-masing. Divisi pertama untuk mengerjakan survei. Kemudian, divisi pemenangan yang memberikan konsultasi kepada calon terkait strategi sebelum di Pemilu.
Menurutnya, kedua divisi ini berjalan masing-masing secara profesional mengerjakan tugasnya. “Hasil survei ada baru kita rekomendasikan ke calon,” katanya kepada detikcom Rabu (14/8).
Toto menjamin data yang ditampilkan LSI akurat karena diproses dan diolah secara murni. Meski demikian ia mengakui memang ada kemungkinan dengan hasil sedikit yang meleset. LSI, ujarnya, punya bantuan sumber daya manusia di daerah yang direkrut dari kalangan dosen serta mahasiswa yang dibekali pelatihan khusus.
Adapun pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris berpendapat tidak bisa dipungkiri menjelang hajatan Pemilu besar seperti legislatif dan Presiden, lembaga survei bakal banyak order. Sebab, isu politik itu kuat dan punya tujuan kepentingan. Maka, memang sebaiknya perlu ada kode etik yang disepakati lembaga-lembaga survei sehingga tidak ada hasil yang melenceng.
Selain itu, dia meneruskan, memang perlu ada keterbukaan terkait transparansi dana yang membiayai lembaga survei. Syamsuddin melihat persoalan ini penting untuk menghindari kejadian obral survei untuk berebut calon yang punya duit banyak. “Hasil survei itu bisa mempengaruhi masyarakat. Regulasi yang kuat bisa mengatur ketentuan lembaga survei yang kredibel dan independen,” ujarnya menekankan.
(brn/brn)