Koalisi Pejalan Kaki, sebagai lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada kepedulian pejalan kaki menilai lemahnya penegakan hukum menjadi salah satu utama makin maraknya pelanggaran fungsi trotoar. Anthony Ladjar, salah satu pendiri Koalisi, menyoroti sikap para pengendara sepeda motor yang tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki karena tidak adanya penegakan hukum yang tegas dan memberikan efek jera.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009, pejalan kaki dan pesepeda harusnya mendapat prioritas. "Hal ini diperparah dengan sikap para penegak hukum yang kerap melakukan pelanggaran, termasuk melewati trotoar dan parkir di trotoar," kata Anthony beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
โKita jadi mempertanyakan sebenarnya polisi ini punya kapabilitas enggak untuk menegakkan hukum ini, jangan sampai nanti terbentuk ormas untuk mengusir pemotor-pemotor ini,โ tegas dia. โHarusnya ada efek jera bagi para pemotor, itu bisa diberikan oleh penegak hukum dengan menindak saat ada pelanggaran."
Menguatkan pernyataan rekannya, Alfred, Koordinator Koalisi Pejalan Kaki juga menilai aparat penegak hukum seperti pihak kepolisian dan pemerintah daerah dan pusat tidak memberikan perhatian serius. Selain itu, penanganan antara trotoar dan jempatan penyeberangan orang yang diselenggarakan oleh Dinas Pertamanan juga kerap tak sejalan dengan penanganan jalan yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum. "Ada jalan yang sudah diperbaiki berkali-kali tapi trotoarnya baru diperbaiki sekali dalam lima tahun," kata dia.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengaku sangat prihatin dengan kondisi pejalan kaki. "Pejalan kaki sudah semakin teraniaya. Apa lagi ditambah saat ini trotoar dimanfaatkan menjadi lahan parkir, ada lahan trotoar yang kosong langsung dijadikan tempat parkir," tutur Yayat kepada detikcom Rabu (31/7).
Adapun pengamat dari Masyarakat Transportasi Indonesia, Danang Parikesit, berpendapat
krisis trotoar di Jakarta merupakan puncak refleksi dari ketiadaan kebijakan pemihakan pemerintah kepada pejalan kaki. "Tidak saja keterbatasan fasilitas, trotoar yang ada tidak didesain dengan kaidah-kaidah pedestrian friendly," kata Danang saat dihubungi detikcom Selasa (30/7).
Secara pengaturan, dia melanjutkan, perangkat hukum dan penegak hukum telah tersedia, sehingga masalah utamanya adalah komitmen penegakan hukum dan sejauh mana pemerintah melihat ini sebagai masalah serius. Fenomena kecelakaan di badan jalan yang melibatkan pedestrian terjadi karena mereka terpaksa menggunakan badan jalan untuk melakukan aktivitasnya sementara trotoar dipakai berjualan.

Menyikapi permasalahan ini, pihak kepolisian mengaku persoalan tersebut rumit dan tak mudah begitu saja diselesaikan. Juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto mengatakan pihaknya menindak pengendara motor nakal yang naik ke trotoar jalan. Namun, karena banyaknya kendaraan dan tidak sebanding ruas jalan membuat penegakan hukum dinilai tidak memecahkan masalah.
"Kalau ketemu kan kita tilang, cuma kalau ditilang benar-benar satu hari bisa satu box (surat) tilang kita juga habis untuk menilang mereka, nah itu gak menyelesaikan masalah juga," kata Rikwanto saat ditemui detikcom di ruangannya, Rabu (31/7).
Menurut Rikwanto, pengendara sepeda motor naik ke trotoar sering terjadi pada pagi dan sore hari (jam berangkat dan pulang kerja). Pengendara yang ingin cepat sampai di rumah atau tujuan tidak bisa melewati jalur utama sehingga naik ke trotoar jalan. "Karena memang banyaknya kendaraan yang ada semua mau cepat volume jalan terbatas jadi orang mau cepat tidak bisa lewat jalur utama karena waktu tempuhnya juga terbatas, akhirnya jalan apapun ditempuh," ujarnya.
Pihaknya memperkirakan kondisi jumlah kendaraan yang tidak sebanding dengan ruas jalan ini akan membuat lalu lintas pada tahun depan bisa tidak bergerak. "Diperkirakan 2014 nanti sudah stag, artinya volume kendaraan dengan volume jalan kalau dijajarkan gini, sudah penuh jalannya. Sekarang kan sudah mulai padat," jelasnya.
Untuk itu, lanjut Rikwanto, perlu kebijakan radikal guna untuk mengatasi permasalahan ini seperti dengan menekan lonjakan kendaraan atau pembangunan jalan baru. "Perlu kebijakan radikal, entah pembuatan jalan atau pembatasan kendaraan tertentu di Jakarta. Kalau gak dibuatkan jalan baru atau diatur tentang jumlah kendaraan yang beredar itu stag (tidak bergerak) nanti kalau dibiarkan," urai Rikwanto.
(brn/brn)