Padahal, kedua hal tersebut sangat penting untuk mendukung kebijakan penanggulangan dan pengurangan risiko bencana. Saat ini pengurangan risiko bencana bisa dilakukan menggunakan iptek dan menghargai budaya lokal yang ada di masyakarat.
"Suatu bencana seperti tsunami, gempa bumi, erupsi itu bisa dipelajari dari sejarahnya. Setiap kejadian bencana itu sebagai bagian dari titik sejarah," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Syamsul Maarif dalam seminar internasional, Informasi geospasial tematik bencana alam di Hotel Inna Garuda Yogyakarta, Selasa (30/7/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita tidak bisa hanya mengandalkan pada satu alat saja. Namun alat itu hanya membantu manusia sehingga akan lebih dibaik bila digabungkan. Kepercayaan atau belief yang ada di masyarakat juga akan membantu dalam pengurangan risiko bencana," katanya.
Menurut Syamsul, sejarah mengenai kejadian/peristiwa bencana telah diterapkan BNPB dalam penanggulangan bencana erupsi Merapi. Aktivitas Merapi yang berlangsung secara periodik dan tanda-tanda erupsi dapat diketahui dengan adanya material yang dikeluarkan dari gunung. Material tersebut dapat dijadikan pedoman untuk memprediksi, mengontrol dan mengantisipasi bencana erupsi.
"Seperti bencana Merapi saat ini bisa kita diprediksi, dipahami dan dikontrol," katanya.
Namun dia mengakui, belum semua tempat dilakukan penelitian mengenai sejarah dari sebuah peristiwa bencana di masa lalu. Dia mencontohkan di wilayah Indonesia bagian timur, fakta historis mengenai bencana masih sangat minim bila dibandingkan dengan kawasan Indonesia bagian barat.
"Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah kita," katanya.
Sementara itu Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Dr Asep Karsidi menambahkan peta kebencanaan berupa informasi geospasial bisa dijadikan pedoman dalam meminimalkan risiko bencana. Namun, produk peta tematik kebencanaan yang dihasilkan berbagai institusi baik berupa peta format analog maupun peta digital belum terintegrasi satu sama lain.
"Saat ini dibutuhkan kebijakan satu peta untuk analisis manajemen risiko bencana. Peta-peta yang dibutuhkan saat ini adalah peta dengan skala 1 banding 250.000," kata Asep.
(bgs/try)