Ketika mengumumkan pengambilalihan kekuasaan, Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdul Fatah al-Sisi didampingi oleh ulama Al-Azhar, pemimpin Gereja Kristen Koptik, pemimpin oposisi Muhammad el Baradei, pemimpin Partai Islam Nour dan tokoh gerakan Tamarod yang mengorganisir unjuk rasa di Lapangan Tahrir. Ada sejumlah alasan mengapa kepemimpinan Morsi yang semula meraih 52 persen suara dalam Pemilihan Presiden 2012, dinilai gagal dan justru memecah-belah Mesir.
Menurut laporan The Guardian, ada beberapa alasan Morsi digulingkan yaitu: Pertama, dominasi Ikhwanul Muslimin yang semakin menguat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketiga, Dekrit Presiden 22 November 2012 dinilai sebagai kesalahan fatal, karena memecat jaksa agung, membuat semua keputusan presiden kebal dari gugatan hukum (judicial review) dan menegaskan keabsahan parlemen Mesir.
Keempat, dugaan pelanggaran demokrasi dan HAM. Kudeta militer terhadap Morsi inilah yang menyebabkan konflik politik di Mesir terus menerus memanas. Menurut laporan Indiatimes (28 Juli 2023), dilaporkan lebih dari 120 orang tewas dan dan 4.500 lainnya terluka. Laporan tersebut menyebutkan, pasukan polisi khusus beseragam hitam-hitam menembakkan peluru tajam mengarah kepala para demonstran yang duduk-duduk di luar Masjid Rabaa al-Adawiya di distrik Nasr City, Kairo.
Sedangkan, BBC mengatakan mereka mendapat laporan yang belum dikonfirmasi bahwa sebanyak 100 orang telah tewas dan lebih dari 1.000 lainnya terluka. Kantor berita MENA mengutip sumber keamanan menyebutkan, di Alexandria, kota terbesar kedua Mesir, tercatat tujuh orang tewas dan lebih dari 100 terluka. Kekerasan juga dilaporkan terjadi di Damietta, Gharbia, Sharqiya, dan Sungai Nil. Kerusuhan juga menyebabkan lebih dari 1.000 orang narapidana kabur di sebuah penjara di kota Benghazi, Libya (27/7/2013).
Sementara itu, data resmi Kementerian Kesehatan Mesir mencatat jumlah korban tewas akibat bentrokan yang berlangsung sejak 26/7/2013 hanya 65 orang. Namun, kemudian informasi itu dianulir oleh Kepala Layanan Ambulan, Mohammed Sultanm, yang mengatakan jumlah korban tewas mencapai 72 orang.
Sebelumnya, militer Mesir mengancam akan menembak semua demonstran Ikhwanul Muslimin apabila mereka berbuat onar, seperti diberitakan Reuters, Kamis 25 Juli 2013, hal ini disampaikan militer dalam akun Facebooknya. Dalam akun itu tertulis, "militer tidak akan mengangkat senjata terhadap rakyatnya sendiri tetapi akan melawan mereka yang memicu tindak kekerasan dan terorisme".
Sama nasibnya dengan Mesir, Suriah telah mundur 35 tahun dalam indeks pembangunan manusia, akibat perang saudara yang berkepanjangan, demikian menurut Pusat Penelitian Kebijakan Suriah dalam laporan yang dikutip Xinhua. Namun, sebagian ahli ekonomi mengatakan pemerintah sebelum krisis turut bersalah atas memburuknya kondisi ekonomi. Laporan tersebut mencakup kuartal pertama 2013.
Laporan itu, yang dikeluarkan melalui kerja sama dengan Badan Pekerjaan dan Bantuan PBB (UNRWA) dengan judul Syrian Catastrophe, telah menyatakan kemerosotan tersebut terutama berpusat pada tiga bidang: penghasilan, pendidikan, dan kesehatan. Laporan tersebut menyatakan lebih separuh dari penduduk Suriah miskin, 6,7 juta warga Suriah memasuki garis di bawah kemiskinan akibat krisis, dan 3,6 juta orang Suriah memasuki lingkaran kemiskinan parah.
Laporan itu juga menunjukkan kerugian ekonomi Suriah akibat krisis sampai kuartal pertama tahun ini meningkat menjadi 84,4 miliar dolar AS atau naik dari 48,4 miliar dolar AS pada akhir 2012. Kerugian produk domestik bruto (GDP) diperkirakan mencapai delapan miliar dolar AS, 13 miliar dolar AS kerugian modal, dan tujuh miliar dolar AS akibat pengeluaran militer.
Laporan tersebut juga menyatakan utang dalam dan luar negeri Suriah telah naik dari 48 persen GDP pada 2012 menjadi 65 persen GDP selama kuartal pertama tahun berjalan. Utang luar negeri berjumlah 49 persen GDP selama empat bulan pertama 2013.
Agar Tidak Terjadi di Indonesia
Pemicu terjadinya konflik berdarah di Mesir dan Suriah pada dasarnya disebabkan karena adanya pemahaman sempit menyikapi pluralisme yang kemudian mengarah terjadinya konflik sektarian yang terus berlanjut sampai saat ini atau dengan kata lain ada pemahaman yang keliru terhadap toleransi dan intoleransi di Mesir dan Suriah.
Pemicu kedua adalah memburuknya situasi ekonomi di kedua negara. Pemerintahan manapun tidak akan menjalankan roda kegiatannya dengan baik jika situasi keamanan tidak terbentuk, karena kebutuhan akan ekonomi equivalen dengan kebutuhan terhadap situasi yang aman. Keamanan di Mesir dan Suriah memburuk terutama setelah militer dan intelijen turut bermain politik dengan membela satu kelompok yang bertikai saja.
Selanjutnya, adalah persoalan pelanggaran demokrasi dan HAM di Mesir dan Suriah, namun sinyalemen atau alasan yang digunakan ini jangan ditelan mentah-mentah, karena bisa saja persoalan demokrasi dan HAM hanyalah “tema” yang dimainkan kepentingan asing di Mesir dan Suriah, apalagi Jenderal Abdul Fattah al Sisi pernah bersekolah militer di Amerika Serikat dan Inggris, sehingga tidak menutup kemungkinan sudah “di-remote control” oleh negara polisi dunia dan negeri Ratu Elizabeth tersebut.
Tujuan AS dan Inggris di Mesir dan Suriah cukup beragam mulai dari ingin menguasai “jalur sutera” karena Mesir merupakan jalur penghubung Afrika dan Asia ditinjau dari sisi geopolitik dan geostrategi dunia, sehingga menguasai wilayah Afrika dan Asia berarti menguasai minyak dunia, yang itu berarti menguasai sumber energi ke depan. Oleh karena itu, dalam setiap konflik di sebuah negara, selalu ada kepentingan asing yang bermain, keterkaitan kebutuhan penguasaan geopolitik dan geostrategi dunia, yang ditunjang oleh kisruh di negara tersebut.
Menjadi penting bagi Indonesia untuk belajar dari kasus di Mesir dan Suriah agar tidak terjadi di Indonesia, maka dipandang perlu Indonesia harus membenahi sistem ketatanegaraannya, menciptakan kesimbangan dan distribusi kekuasaan, membenahi sistem peradilan dan kepolisian, memberantas korupsi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Last but not least, harus ada kesinambungan demokrasi, stabilitas dan pembangunan yang menuntut tanggung jawab seluruh komponen bangsa untuk mengawasi dan mengontrolnya dengan menjalan tugas dan kewajibannya masing-masing secara profesional, terukur dan terkelola dengan baik.
*) Toni Ervianto, adalah alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia. Tinggal di Jakarta Timur.
(nwk/nwk)