Sejauh ini utang luar negeri selalu diasumsikan oleh pemerintah untuk membiayai APBN, nyatanya APBN malah banyak dikorupsi politisi. Selain itu utang luar negeri justru banyak digunakan untuk membayar kupon dan pokok obligasi rekap yang justru dinikmati oleh bank-bank asing kelas kakap di Indonesia. Tercatat per Mei 2013, Surat Berharga Negara (SBN) Domestik dimiliki oleh Bank sebesar Rp 306,26 triliun atau sekitar 34,19% dari total kepemilikan SBN. Sungguh ironis memang.
Seperti sebuah pertaubatan, tentu hal tersebut sulit namun harus dilakukan. Hal ini agar utang pemerintah tidak meningkat tajam dan pemerintahan SBY meninggalkan beban utang untuk rakyat dan pemimpin berikutnya. Lihat saja, selama masa pemerintahan SBY peningkatan jumlah utang mencapai Rp 724 triliun dan secara keseluruhan total utang pemerintah Indonesia hingga April 2013 telah mencapai Rp 2.023,72 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini artinya, jika pemerintah selalu menjadikan alasan menaikkan BBM untuk menyelamatkan APBN dengan mengurangi subsidi untuk rakyat hanya sekedar kambing hitam belaka. Sebenarnya lewat pembayaran utang, justru pemerintah terus memberikan subsidi kepada pihak asing, orang kaya pemilik SBN dengan imbal-hasil yang tinggi, serta sejumlah perbankan yang menikmati pembayaran bunga obligasi rekap. Pembayaran obligasi atas pembobolan BLBI setiap tahun juga menyerap anggaran hampir Rp 7 triliun, dan hal itu dibiayai oleh APBN. Jatuh tempo BLBI pada tahun 2033 senilai Rp 127 triliun. Mencekik bukan?
Lebih jauh, sangat menyakitkan tentunya di mana pembayaran utang pokok dan bunga dari utang luar negeri tersebut lebih besar dibandingkan dengan anggaran kemiskinan kita. Hingga Mei 2013 ini saja misalnya, realisasi pembayaran utang pemerintah sudah mencapai 34% dari total APBN hampir menguras 30% APBN senilai dengan Rp 104,725 miliar. Hal ini kontras dengan total anggaran kemiskinan yang hanya berjumlah sekitar 6,7% dari total APBN selama setahun atau hanya Rp 115,5 tiliun.
Selain menyedot keuangan negara dalam jumlah yang besar, dana-dana asing lewat utang dan hibah luar negeri kepada pemerintah telah menyebabkan intervensi yang mendalam dalam kebijakan ekonomi.
Sejumlah kebijakan dan puluhan undang-undang yang merugikan kepentingan nasional dihasilkan melalui dana-dana asing ini.
Di antaranya adalah UU Minyak dan Gas No. 22/2001, UU Sumber Daya Air No. 7/2004, UU Energi No. 30 tahun 2007, UU Penanaman Modal No. 25/2007, UU Badan Hukum Pendidikan No. 9/2009, UU BUMN Nomor 19/2003, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Nomor 27/2007, UU Perkebunan, UU Ketenagalistrikan, dll.
Konsekuensi dari utang tersebut, kebijakan ekonomi pemerintah SBY telah diarahkan untuk membuka pasar dalam negeri bagi masuknya produk-produk impor dari negara lain, seperti pangan, barang-barang manufaktur, atau bahan baku industri.
Di sektor pangan misalnya, telah terjadi peningkatan nilai impor yang sangat signifikan, yakni dari US$ 8,4 miliar di 2009 meningkat lebih dari 2 kali lipat menjadi US$ 17,2 miliar di 2012. Selain menggerus cadangan devisa, kebijakan impor pangan berdampak terhadap kesejahteraan petani dan nelayan Indonesia yang produknya harus kalah bersaing dengan produk impor yang harganya jauh lebih murah.
Bom Waktu
Jika utang pemerintah terus dibiarkan tentu saja akan membebani APBN kita dan terancam jebol karenanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, utang luar negeri lebih banyak mudharatnya dibandingkan dengan manfaat terhadap rakyat Indonesia.
Langkah perubahan dengan moratorium utang perlu dilakukan, terutama harus dijadikan program utama oleh Menteri Keuangan yang baru Chatib Basri. Selain untuk menghindari bom waktu masa depan yang memacu krisis ekonomi Indonesia. Hal ini perlu dilakukan oleh Menkeu untuk membangun kembali kemandirian ekonomi bangsa Indonesia tanpa utang yang mencekik.
Selain tentu saja Presiden SBY harus mengevaluasi utang pemerintah yang terus meningkat dan melakukan negosiasi untuk penghapusan serta menghentikannya. Hal ini agar jangan sampai ketika masa pemerintahan SBY berhasil, justru meninggalkan dosa utang untuk anak cucu dan pemimpin berikutnya. Tentunya kenaikan utang Indonesia ini bukanlah prestasi yang dibanggakan, namun direnungi sebagai kegagalan pemerintah membendung dana asing.
Lebih khusus, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga perlu fokus dalam mengaudit utang pemerintah. Saat ini BPK sedang proses melakukan audit atas utang pemerintah, namun hasilnya belum dipublikasikan.
Namun biasanya, hasil audit BPK tersebut hanya normatif. Ke depan, metode auditnya harus ditingkatkan. Bukan lagi audit yang hanya menilai kinerja Sistem Pengendali Internal (SPI) dan kepatuhan terhadap peraturan, namun harus melakukan audit investigatif, siapa sebenarnya yang meniknati utang pemerintah dan sejauh mana kebocorannya. Jika ini dilakukan, tentunya saya sangat yakin akan banyak temuan indikasi kerugian negera dari utang pemerintah.
Lebih jauh, DPR sebagai pengawas pemerintah yang tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan utang harus mengambil langkah politik yang tegas, untuk menghentikan utang dan mendesak pemerintah agar tidak meneruskan obligasi rekap yang hanya menguntungkan bandit pengusaha era Orde Baru yang saat ini masih terus menyusu negara. Terutama utang BLBI yang bunga tiap bulannya dibayar oleh negara. Tentu ini merugikan.
Terakhir, agar utang luar negeri tidak menjadi bom waktu yang menghantui masa depan perekonomian Indonesia tentu harus dihentikan. Semoga semangat puasa Ramadan juga menyentuh pemerintah SBY untuk mengambil sikap politik “berpuasa” terhadap utang luar negeri, diikuti dengan harapan dan komitmen kuat untuk menghentikan utang luar negeri tahun tahun selanjutnya.
Menjelang akhir jabatan pemerintahan, semoga dengan puasa dapat melakukan “pertaubatan’ terhadap utang luar negeri, SBY tidak mewarisi dosa utang yang menggunung dan justru memiskinkan rakyat karena utan hanya dinikmati elit pengusaha hitam di negeri ini. Amin.
*) Apung Widadi, Analis Politik Independen, Alumni Universitas Diponegoro, twitter @ApungWidadi
(nwk/nrl)