Saksi Ahli: Kewenangan Banggar DPR Seharusnya Dibatasi

Saksi Ahli: Kewenangan Banggar DPR Seharusnya Dibatasi

- detikNews
Kamis, 25 Jul 2013 15:11 WIB
Gedung MK (ari/detikcom)
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang judicial review Badan Anggaran (Banggar) DPR. Sidang kali ini dihadiri oleh saksi Yuna Farhan dari LSM Fitra. Selain itu juga saksi ahli Saldi Isra dan Zainal Arifin Mochtar melalui teleconference. Sidang dipimpin oleh Akil Mochtar.

Menurut Saldi Isra, kewenangan Banggar seharusnya dibatasi sampai pada tingkat pemeriksaan. Banggar menilai apakah anggaran yang diajukan oleh pemerintah telah sesuai atau tidak dengan kebijakan makro yang ditetapkan.

"Hal tersebut seperti diungkapkan para pendiri negara, anggota BPUPKI, Soepomo," ujar Saldi Isra dalam teleconference dari Fakultas Hukum Universitas Andalas di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (25/7/2013).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya dasar memberikan atau tidak memberikan persetujuan adalah kesesuaian anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dengan kebijakan umum negara yang telah disepakati oleh DPR dan pemeintah. APBDP oleh DPR lebih sebagai upaya untuk memberikan persetujuan rancangan RAPBN yang disusun oleh pemerintah.

"Sebab pemerintahlah yang mengetahui secara detail item-item pendapatan negara dan program-program yang mesti dilakukan untuk memajukan kesejahteraan rakyat," terangnya.

Sementara DPR berada dalam posisi sebagai wakil rakyat yang mengetahui, bukan menentukan. Sehingga menurutnya, Banggar tidak perlu ikut membahas APBN secara rinci hingga satuan 3.

"Ketika fungsi anggaran dibatasi dengan masuk tidak jauh, kita memaksa DPR untuk menguatkan fungsi pengawasan," ucapnya.

Sedangkan kondisi saat ini, kewenangan Banggar terlalu jauh. Hal tersebut justru memperlemah pengawasan.

"Kalau kewenangannya terlalu masuk seperti ini maka fungsi pengawasan terabaikan," ujarnya.

Menurut Saldi, seharusnya fungsi kewenangan diberikan lebih besar kepada eksekutif. Sementara fungsi legislatif lebih kepada pengawasan.

"Jika seperti itu sangat mungkin ada kerjasama antara rakyat dengan DPR. Sekarang ini lebih sulit karena keduanya (eksekutif dan legislatif) memiliki kewenangan sama," paparnya.

Meskipun menurutnya kewenangan besar bukan menjadi persoalan jika dapat dipertanggungjawabkan.

"Namun kenyataannya semakin besar kekuasaan potensi korupsi semakin besar. Kita harus mengembalikan desain ini ke desain sebenarnya," tandasnya.

(kff/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads