Rumah Sakit Budhi Asih, Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, itu tampak terkejut saat didekati. Telepon selulernya buru-buru dimasukkan ke saku celana panjang bahan kainnya.
Sebelumnya ketika diamati dari agak kejauhan dia terlihat tengah asyik mengobrol dengan suara pelan. Padahal, istrinya yang berada di dalam gerobak sudah menegur dia kalau ada orang yang datang. Soleh terdiam sekian lama menunggu detikcom bertanya dan memberikan sesuatu. Sepintas tidak ada yang salah dengan Soleh. Namun, untuk ukuran manusia gerobak dan membawa sebuah ponsel keluaran agak baru terlihat "lucu" dan aneh.
Ditanya apakah sudah punya makanan untuk bekal sahur, ia serta istri kompak mengaku belum dengan cara menggelengkan kepala. Kemudian untuk mencairkan suasana, detikcom memberikan dua botol air mineral dan sedikit uang. “Terima kasih Pak,” ujar Soleh merespons dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ringan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat dilongok lebih cermat ke dalam gerobak tampak terdapat bantal, selimut yang kusam, ban, dan koran-koran bekas. Beberapa botol bekas juga ada di dalam gerobaknya yang berukuran sekitar 80 cm x 150 sentimeter itu. Gerobak yang tak bercat ini terlihat sudah bobrok karena kayu dan sengnya terlihat sudah pada rusak. “Gerobaknya punya saudara, saya numpang di rumahnya deket Kali Ciliwung,” kata istri Soleh dengan suara memelas.
Saban hari selama bulan puasa, ia menggelar lapak bergantian di sepanjang ruas Jalan Dewi Sartika, Otista, dan Cawang UKI, Jakarta Timur, dengan jam operasi mulai pukul 21.00–03.50 WIB. Soleh sengaja memilih tiga lokasi tersebut karena dianggap paling strategis. "Jalan besar dan banyak dilewati orang," ucapnya.
Ia tidak menampik kalau jumlah duit sedekah yang didapatkan juga besar. Kalau ada kegiatan sahur on the road, Soleh mengaku bisa mendapat banyak makanan dan meraup uang minimal Rp 250 ribu sehari.
Kebiasaan mengharap belas kasihan orang ini dilakukan karena dirinya tidak khawatir dengan alasan belum pernah terkena razia. “Jangan sampai deh. Ya, hitung-hitung buat balik kampung. Ada sedikit tambahan buat orang kecil kayak kita Pak,” tutur Soleh.
Rencananya, Soleh dan istri baru pulang ke Subang tiga hari setelah Idul Fitri. Alasannya lagi-lagi menunggu sedekah dan zakat di Hari Lebaran dari warga ibu kota yang tidak mudik. Tahun kemarin di malam takbiran saja ia mengaku mendulang sekitar Rp 700 ribu. Ada juga masyarakat Jakarta yang memberikan zakat beras. "Biasanya dapat itu. Uang sih yang banyak Pak," ungkap istri Soleh.
*****
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Samsudi mengatakan fenomena
gelandangan pengemis (gepeng) terutama manusia gerobak yang datang musiman saat Ramadan adalah peristiwa berulang-ulang dan sulit dicegah. Hampir setiap tahun kenaikan angka meningkatnya gepeng ke ibu kota mencapai 10 persen.
Samsudi menguraikan Jakarta ibarat magnet dan gula bagi para gepeng musiman yang sebenarnya mereka adalah masyarakat tergolong mampu karena punya aset rumah hingga sawah di kampungnya. Ia menyebut para gepeng musiman ini datang dari
beberapa daerah seperti misalnya Indramayu dan Karawang, Jawa Barat.
Hanya mental dan kultur para gepeng yang kebiasaan negatif membuat mereka terus
melakukan itu. Hal ini ditambah kebiasaan sebagian masyarakat Jakarta yang ingin
memberikan zakat dan sedekah di Ramadan ini secara sendiri tanpa melalui lembaga khusus.
“Sebenarnya gepengnya ya itu-itu saja. Mereka kebiasaan karena dimanja. Jadi, terus datang lagi pas bulan puasa bawa istri, terus adiknya. Hitung saja kalau sehari dapat Rp 200–Rp 300 ribu, kalah UMR Jakarta sama mereka,” kata Samsudi saat dikonfirmasi detikcom pagi tadi. Dari hitung-hitungan Samsudi, penghasilan gepeng musiman dari hasil mengharap belas kasihan selama bulan suci sedikitnya mencapai Rp 4 juta. Adapun UMR DKI adalah Rp 2,2 juta.
Di mata Samsudi ada beberapa cara untuk menekan angka gepeng selain ketegasan Pemda DKI. Menurutnya, lembaga khusus pengatur zakat di Jakarta masih kurang meski sudah ada Badan Amil Zakat Infaq dan Sadaqah. Persoalan sederhana adalah kesadaran sebagian masyarakat yang seharusnya menyalurkan zakat kepada orang yang berhak. Hal ini harus terus disosialisasikan oleh Pemda serta BAZIS DKI lewat media massa dan jalur tempat ibadah seperti masjid atau musala. “Sulit membenahi kalau kultur kebiasaan gepeng juga seperti itu. Sebagian masyarakat juga harus sadar. Yah, ibaratnya ada gula ya ada semut,” ujarnya.
(brn/brn)