Pencari suaka yang terdiri dari 73 orang suku Rohingya dan 22 warga Bangladesh serta 4 WNI kru kapal, meninggalkan kepulauan Indonesia pada 24 Juni 2013 menuju Australia.
Kerusakan mesin kapal dan cuaca buruk mendorong kapal mereka kearah Timor Leste, dan akhirnya mereka terdampar di Pulau Liran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya sudah berbicara dengan polisi, kepala kampung, otoritas kelautan dan Angkatan Laut, tapi ; mereka menolak permohonan suaka kami di negaranya dan mereka memperlakukan kami tidak manusiawi," ; ceritanya.
"Mereka menyita HP kami, dan hp teman-teman kami senegara dan mengawasi kami dengan ketat, jika kami berbicara dengan warga Dili atau warga dari ; negara lain, mereka menghukum kami.”
Pulau Liran, Wetar, terletak di bagian Utara ibukota Dili antara Pulau Atauro dan Pulau Wetar, yang merupakan bagian dari teritori Indonesia.
Kondisi pencari suaka di Indonesia yang belum menandatangani konvensi pencari suaka PBB, dikenal sulit dan keras. Biasanya pencara suaka menunggu berbulan-bulan untuk diproses penilaian oleh ;UNHCR dan hingga 30 tahun untuk dimukimkan kembali di negara ketiga.
Terdampar di pulau terisolir, Zawir mengaku mereka tidak menerima kebutuhan hidup dasar yang mereka butuhkan.
"Kami tidak diobati dan tidak mendapat suplai makanan.. hanya sedikit nasi dan itu tidak cukup, hanya untuk bertahan hidup .. kami kekurangan makanan,” ; katanya.
"Kita tidak punya selimut, banyak dari kami menderita flu dan demam.
"Kami mencari negara untuk melanjutkan hidup kami dan itu artinya menjadi orang yang ; memiliki kebebasan dan ; HAM.”
Masa depan kapal penuh dengan pencari suaka ini masih belum jelas.
(nwk/nwk)