Para pedagang itu mengaku telah hafal jadwal razia atau jam penertiban yang setiap hari dilakukan oleh petugas. "Sekarang yang razia tidak hanya Satuan Polisi Pamong Praja tapi juga polisi gabungan," kata Warsiman, salah satu pedagang kaki lima di Tanah Abang kepada Detik akhir pekan lalu.
Menurut pria yang mengaku menggantungkan nasib sebagai pedagang kaki lima di Tanah Abang sejak tahun 1980-an ini, polisi gabungan dan Satpol PP hanya menggelar razia pada pagi hari saja.
"(Razia) paling lama sampai jam 11:00 siang, habis itu kami bisa dagang lagi, karena mereka gak akan razia lagi setelah itu," kata bapak dengan sembilan anak ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengakuan soal adanya pungutan liar juga disampaikan Anto, seorang pedagang kaki lima yang menjajakan kaos di Tanah Abang. Setiap bulan dia harus merogoh kocek Rp 2 juta kepada preman setempat untuk bisa berdagang. Hanya dia enggan menyebutkan siapa pimpinan atau kelompok preman yang menagih uang tersebut. Pembayaran 'uang lapak' tersebut, lanjutnya, hanya kepada preman dan tidak ada lagi pembayaran ke pihak yang lain. "Bayar Rp 2 juta hanya ke preman," kata Anto.
Wahyu, seorang pedagang baju membenarkan pengakuan Anto. Namun meski tak gratis, baik Anto maupun Wahyu menolak direlokasi ke Blok G. Padahal di Blok G pemerintah provinsi DKI Jakarta menjanjikan tak akan memungut biaya sama sekali. Alasannya relokasi dikhawatirkan akan memukul omzet para pedagang. "Tidak mau (direlokasi), omzetnya bisa turun sampai 40 persen," kata Wahyu.
(erd/erd)